24.2 C
Singkawang
More
    BerandaSosokHB Rikah, Guru Pendobrak dari Tanah Simpang (1)

    HB Rikah, Guru Pendobrak dari Tanah Simpang (1)

    | Penulis: Amon Stefanus

    Namanya Hilarius Benediktus Rikah. Lebih popular dengan sebutan HB Rikah atau Guru Rikah. Lahir di Kampung Selantak 12 Januari 1934, sebuah kampung kecil yang terletak di Kecamatan Simpang Dua, 292 km dari kota Ketapang, Kalimantan Barat. Ia lahir dari ayah yang bernama Banjah dan ibu bernama Acu, keduanya berprofesi sebagai peladang.

    Pada tahun 1941 ketika berumur 7 tahun, HB Rikah masuk Sekolah Rakyat (SR) di Simpang Dua. Pada waktu itu SR tersebut dipimpin oleh Guru Dayul yang berasal dari Kampung Gerai, Kecamatan Simpang Dua. Ketika duduk di kelas 2 pada tahun 1943 HB Rikah terpaksa berhenti sekolah karena terserang penyakit puru (frambusia). Pada Tahun 1948 HB Rikah sempat masuk sekolah lagi di Kampung Karab dan duduk di kelas 2, kemudian berhenti lagi.

    Tahun 1949 bersama dengan dua temannya Djolang dan Teken mereka pindah ke Ketapang mengikuti paman Djolang yang bernama Samad. Saat itu Samad sudah duduk di kelas VI. Mereka membawa surat pindah dari guru SR 3 Tahun Kampung Karab. Mereka pindah ke SR 6 Tahun Kampung Kaum. Kepala sekolah waktu itu Pak Radjab. Berdasarkan tes (dan juga mengingat usia mereka yang sudah 15 tahun), mereka bertiga langsung duduk di kelas IV. Jadi mereka bertiga tidak melewati kelas 3. Tiga bulan kemudian mereka dipindahkan ke SR di Kampung Mulia Baru (sekarang SD 07 Ketapang). 

    Selama di Ketapang HB Rikah, Djolang dan Teken tinggal di Pastoran sampai tamat tahun 1952. Waktu itu yang mengurus mereka adalah Pater Bernardinus Knippenberg, CP dan Pater Rafael Kleyne, CP, kedua misionaris asal Negeri Kincir Angin.

    Setelah lulus SR 6 Tahun di Ketapang pada tahun 1952, HB Rikah pulang kampung. Sebelum pulang kampung ia minta bantuan buku-buku tentang pemberantasan buta huruf dan buku pelajaran agama Katolik kepada Pastor Bernardinus. Tanggal 25 Agustus 1952 ia tiba di Kampung halamannya di Selantak.

    Aktif Melakukan Pemberantasan Buta Huruf (PBH)

    Pada 30 Agustus 1952, lima hari setelah kedatangannya di kampung, HB Rikah bersama Lasin yaitu lurah kampung Selantak mengadakan musyawarah dengan penduduk setempat. Pada musyawarah tersebut diperoleh keputusan. Pertama, bagi penduduk yang buta huruf wajib belajar membaca dan menulis. Kedua, waktu belajar dua kali dalam seminggu dilaksanakan pada waktu malam pukul 19.00 – 22.00. Ketiga, sebagai tenaga pengajar adalah HB Rikah. Keempat, alat-alat tulis seperti buku, pinsil, kapur tulis ditanggung oleh pelajar. Kelima, gaji untuk pengajar tidak ada. Yang ada hanya sumbangan sukarela di ladang jika diperlukan.

    Masyarakat menyambut baik keputusan musyawarah tersebut. Ini terbukti dengan banyaknya warga yang mendaftar masuk menjadi peserta PBH baik laki-laki maupun perempuan. Pada pendaftaran itu ada 20 orang bersedia mengikuti kegiatan ini. Pada tanggal 1 September pelajaran dimulai.  Sebagai tempat belajar adalah di rumah penduduk yang kosong.

    Baca juga: Mantri Matsjam, Pandemi Dan Jarum Suntiknya

    Aksi HB Rikah melakukan PBH di kampungnya terdengar luas oleh masyarakat di kampung lain. Pada 10 November 1952  HB Rikah diundang oleh lurah kampung Karab yang bernama Lorah. Dalam musyawarah yang dihadiri oleh 50 orang laki-laki dan perempuan itu ada dua hal yang dibicarakan. Pertama, tentang sekolah. Sejak sekolah di kampung Karab dipindah kembali oleh Pemerintah pada tahun 1951, anak-anak kampung Banjur, Karab dan Bukang mengalami kesulitan untuk sekolah. Hal ini karena untuk bisa sekolah ke Simpang Dua anak-anak harus berjalan kaki selama 1 – 2 jam. Kedua, masalah agama. Cukup banyak masyarakat di kampung Karab dan sekitarnya seperti Bukang, Banjur, Otong, Merangin, Mentawa Biring, Pantan, Baya dan Kembera berminat untuk masuk agama Katolik.

    Mendirikan SR Partikelir Pergung

    Gaung yang dilakukan HB Rikah di kampungnya sampai ke Kampung Pergung yang jaraknya 30 km dari Kampung Selantak. Pada 24 April 1953, HB Rikah mendapat undangan dari seorang lurah dari kampung Pergung, Kecamatan   Simpang hulu bernama Canggai. Tanggal 25 April 1953 HB Rikah berangkat menuju Kampung Pergung. Tanggal 26 April 1953 bertempat di rumah betang diadakan musyawarah yang dihadiri sekitar 300 orang. Di antara yang hadir antara lain Lurah Kampung Pergung, Paser, Paoh Concong, Deraman, Kesiau, Sungai Maro, Muara Kasai dan Legong.

    Dalam musyawarah tersebut disepakati beberapa hal Pertama, sekolah akan dibuka secara resmi   tanggal 27 April 1953. Sekolah tersebut diberi nama Sekolah Partikelir Rakyat. Kedua, tenaga pengajar atau gurunya adalah HB Rikah. Ketiga, gaji guru ditanggung orang tua murid dibayar dengan 2 gantang padi setiap satu kepala keluarga dalam 1 tahun.

    Pada waktu pembukaan sekolah terdaftar 40 orang murid dari 8 kelurahan. Mereka semua berada pada tingkat kelas 1. Buku-buku pelajaran disediakan oleh HB Rikah, sedangkan alat-alat tulis ditanggung oleh murid sendiri.

    Sekolah Partikelir yang telah dibuka tersebut dibangun oleh penduduk yang berasal dari 8 kelurahan. Mereka membangun sekolah ini dengan cara gotong-royong. Gedung tersebut beratap sirap, berdiding bambu dan berlantai tanah.

    Selain mengajar di SR Pergung, HB Rikah juga mengadakan kursus Pemberantasan Buta Huruf. Pelaksanaan Kursus PBH dilakukan pada malam hari dengan jadwal sebagai berikut: Senin malam mengajar di Pergung, Selasa malam di Pantong, Rabu malam di Kesiau, Kamis malam di Paser, Jumat malam libur dan Sabtu malam di Nongo Baram. Untuk selanjutnya HB Rikah mengkoordinir tenaga yang ada. Di Nanga Baram diajar oleh Sonta (Pak Seri), di Paser diajar oleh Cigai, sedangkan di Pergung, Pantong, dan daerah Kesiau diajar oleh HB Rikah sendiri.

    Karena keberhasilannya dalam mendirikan sekolah dan pemberantasan buta huruf, pada tahun 1954 HB Rikah diangkat oleh Syafe’i, Camat Simpang Hulu waktu itu sebagai Penulis II (sekretaris) bidang Pendidikan di Kecamatan Simpang Hulu.

    Sekolah di Kampung Pergung ini dianggap berhasil. Tanggal 5 Juli 1956 SR tersebut mendapat kunjungan dari Bupati Ketapang, Hadriyah. Saat itu SR Pergung ini mendapat bantuan dari bupati sebesar Rp 1000,00. Kemudian 1 Agustus 1956, SR tersebut menjadi SR Negeri dan mendapat tambahan tenaga pengajar yakni Guru Itang yang berasal dari Kampung Simpang Dua.

    ***

    Sumber:

    1. Rengkang, Lukas, Mengenal Sosok H.B. Rikah dan Dunia Pendidikan di Simpang Dua dan Banjur Karab, Ketapang, 2010.
    2. Stefanus, Amon, Seri Sejarah Keuskupan Ketapang 2: 100 Tahun Gereja di Serengkah. Catatan Harian Pater Bernardinus Knippenberg, CP, Keuskupan Ketapang, 2019.

    Bionarasi

    Amon Stefanus

    Amon Stefanus dilahirkan Banjur, Ketapang, Kalimantan Barat pada 18 Maret 1966. Guru SMP Santo Augustinus Ketapang.

    Telah menerbitkan 12 buku ber-ISBN. Beberapa tulisan dipublikasikan di Kompas, The Jakarta Post, Bernas, Pontianak Post, Majalah Hidup, dll.

    Latest articles

    Explore more

    Arsip berita