24.7 C
Singkawang
More
    BerandaSpiritualPerintah Untuk Mengasihi

    Perintah Untuk Mengasihi

    | Penulis: Hertanto, S.Th.

    Siapapun kita pasti pernah memberi perintah kepada seseorang atau minimal pernah menerima perintah dari orang lain. Perintah adalah sesuatu yang wajib dijalankan karena sifatnya vertikal. Satu hubungan struktural yang mungkin melibatkan emosional. Salah satu contoh, sebagai seorang karyawan, Dina menerima perintah dari atasan untuk menyelesaikan pekerjaan yang diberikan padanya. Sebagai konsekuensinya, Dina menerima gaji atau upah atas apa yang ia lakukan. Bisakah Dina menolak? Sebagai orang yang berstatus karyawan atau bawahan tentu tidak karena adanya ikatan atau perjanjian kerja, namun bagaimana bila Dina tidak memiliki hubungan vertikal atau dengan kata lain bukan seorang karyawan dari sebuah perusahaan? Tentu ada kehendak bebas yang dimilikinya untuk tidak melaksanakan perintah itu bukan? Bagaimana bila Dina memiliki hubungan vertikal itu tapi tidak melaksanakan perintah atasannya? Kita sepakat tentunya bahwa ia akan diberi sanksi. Sebagai karyawan, selain memiliki hak, Dina juga memiliki tugas dan tanggungjawab sehingga perintah yang diberikan adalah bagian dari tanggungjawab yang dimilikinya. Bagaimana bila seorang karyawan tidak mau melaksanakan pekerjaannya, maka pilihannya hanya satu: dipecat.

    Adakah perintah tanpa melibatkan hubungan struktural?

    Ketika kita sedang berkendara di jalan raya dan melihat di depan ada lampu lalu lintas menunjukkan warna hijau, apa yang kita lakukan? Tetap jalan atau berhenti? Tentu semua sepakat bahwa kendaraan yang kita kendarai harus tetap jalan agar tidak ditabrak pengendara lainnya; atau sebaliknya, bila lampu lalu lintas tersebut menunjukkan warna merah dan kita tetap jalan, bukankah potensi tabrakan akan terjadi? Atau contoh lainnya, bila kita melihat marka jalan dengan tanda huruf “P” digaris dan kita tetap parkir di area tersebut, bukankah kita sudah melanggar perintah yang diberikan melalui simbol yang dibuat sebagaimana aturan dari lampu lalu lintas tadi? Kesimpulannya adalah perintah dapat melalui verbal maupun non verbal. Perintah juga memiliki kaitan langsung dengan larangan. Adanya hubungan antara warga negara dengan pemerintah yang diwakili oleh peraturan lalu lintas. Ini baru contoh yang terjadi dalam berlalu lintas. Bagaimana dengan hubungan vertikal di gereja? Bila seseorang yang bekerja di gereja tidak melaksanakan tugasnya dengan baik, bukankah ia sama seperti Dina yang bekerja di sebuah perusahaan atau pengendara yang sedang berada di jalan raya? Sudah seharusnya menerima sanksi atas perbuatan yang telah dilakukannya bukan?

    Dari contoh tersebut di atas, yang ingin digarisbawahi adalah perintah terjadi karena adanya hubungan vertikal. Bila tidak ada hubungan itu maka perintah tidak akan pernah ada.

    Sebagaimana tema renungan ini, pembahasan didasari dari Matius 22:39. Pertanyaan yang harus kita jawab terlebih dahulu adalah apakah kita sudah memiliki hubungan struktural dengan Pemberi perintah? Adakah ikatan antara kita yang menerima perintah dengan Sang Pemberi perintah? Sebelum kita melaksanakan perintah untuk mengasihi, kiranya pertanyaan di atas menjadi alat intropeksi diri. Mengapa Yesus memberikan perintah untuk mengasihi? Perlu disadari bahwa hukum mengasihi ditegaskan oleh Yesus tatkala terjadinya dialog antara orang-orang Farisi, Saduki dan Yesus sendiri.

    Ketika orang-orang Farisi mendengar bahwa Yesus telah membuat orang-orang Saduki itu bungkam (Matius 22:23-33), maka mereka berkumpul dan bermaksud mencobai Dia dengan sebuah pertanyaan, “Guru, hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat?” (Matius 22:34-36).

    Bila disimak lebih dalam, sesungguhnya perintah untuk mengasihi itu sudah ada sejak hukum Taurat (Matius 22:37-39) dan uniknya bila dilihat dalam Injil Lukas 10:25-28 terdapat dialog lanjutan mengenai siapa sesama manusia itu yang menceritakan tentang orang Samaria yang murah hati (Lukas 10:29-37).

    Saya yakin dan percaya tidak ada seorang pun yang ingin dijauhi, apalagi dibenci. Tiap-tiap orang pasti ingin dikasihi, namun permasalahannya tidak semua orang tahu cara mengasihi dengan tepat. Sebagai contoh, alih-alih mengasihi anaknya, orangtua terkadang memaksakan kehendak mereka pada anaknya. Seberapa banyak ditemui di sekitar kita bahwa ada anak yang tidak menyukai ilmu ekonomi namun karena desakan dan keinginan orangtua akhirnya si anak memilih kuliah jurusan ekonomi. Ada juga yang ambil jurusan kedokteran meskipun si anak lebih menyukai bidang matematika. Akhirnya perintah mengasihi jadi “kebablasan” diterapkan oleh orangtua pada anak.

    Kembali pada Matius 22:39, Kata “kasihilah” merujuk pada suatu perintah sebagaimana sudah dijelaskan di awal, dan itu tidak dapat dilanggar. Namun sadarkah kita, dalam prakteknya kita seringkali melakukan tindakan kasih yang disertai syarat tertentu? Kita mengasihi seseorang apabila orang tersebut mengasihi kita, bukankah Alkitab telah mengingatkan kita, bahwa apakah upahmu? (Matius 5:46). Ternyata mengasihi sesama tidak semudah yang kita bayangkan bukan? Kita mengasihi karena Allah terlebih dahulu mengasihi kita dan bagaimana kita dapat mengasihi Allah jika mengasihi sesama saja tidak bisa? Ataukah ada opini lain atas hal itu?

    Semoga ini menjadi motivasi sekaligus renungan bagi kita, sudahkah kita mengasihi sesama?

    (Trust & Obey)  

    Bionarasi

    HERTANTO Hertanto Ruhiman

    Hertanto, S.Th., MACM, M.I.Kom

    Penulis merupakan Pendiri Ruhiman Ministry, sebuah lembaga yang bergerak di bidang Pewartaan dan Kegiatan Sosial.

    Latest articles

    Explore more

    Arsip berita