Tiga Putra Dayak dipercaya ikut merumuskan Indonesia Emas dalam Temu Mufakat Budaya Indonesia.
JAKARTA – detikborneo.com Berbagai haru-biru dalam kehidupan sosial-politik-kebudayaan belakangan ini sebenarnya menyimpan magma atau bom waktu di dalamnya. Ia seperti penyakit yang kronis sekaligus akut, yang dampaknya bertebar dimana-mana dalam bentuk aksi, peristiwa atau fenomena baru yang terjadi dimasyarakat dan ditengah kehidupan kita.
Menyadari kenyataan itu, Mufakat Budaya Indonesia (MBI) mengajak beberapa Cendikiawan, Budayawan dan Intelektual para eksponennya yang terkemuka di Indonesia untuk mewakili semua area demografis serta identitas etnis, kumpul bersama membincangkan masalah tersebut, dalam acara Temu MBI 2019, yang berlangsung di Hotel Century Park, Jakarta dari tanggal 29-31 oktober 2019 ” acara ini sesungguhnya tidak ada peserta tetapi narasumber semua karena akan membagikan informasi, memberikan analisa dan solusinya yang menjadi rekomendasi untuk itu kami punya kreteria dan penilaian sendiri terhadap narasumber yang kami ajak untuk ikut berpikir masa depan indonesia menyongsong Indonesia Emas, Radhar Panca Dahana sebagai Ketua Umum Mufakat Budaya Indonesia.
Pada pertemuan Mufakat Budaya Indonesia tahun ini, hadir beberapa tokoh Nasional dan juga para pengamat terkemuka diataranya Sri Sultan Hamengkubuwono X beserta Permaisurinya Gusti Kanjeng Ratu Hemas, Prof. Yudi Latif, P.hd (Mantan Kepala Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila), KH. Gusmus Bisri, Prof. Dr. Tamrin Amal Tomagola, Prof. Dr. Sietapy, Prof. Prof. Dr. H. Taufik Abdullah (Mantan Ketua Lipi), Dr. Connie R. Bakrie (Pengamat Pertahanan dan Keamanan, Prof. Dr. Mujahirin Toha dari Jawa Tengah, Dr. Cristhianto Wibisino (Pengamat Ekinomi dan Finansial Indonesia), Dr. Musni Lampe (Antropologi Maritim dan Antropologi Universitas Hassanudin), Jenderal TNI (Purn) Junias L. Tobing (mantan analis hankam mabes TNI), Dr. Pangabean dari Sumatera dari diantara para tokoh dan cendikiawan itu hadir pula tiga pemikir dari kalangan tokoh masyarakat Dayak yang masuk didalam kreteria pengurus MBI untuk ikut membahas masa depan Indonesia yaitu Andrie Elia (Rektor Universitas Palangkaraya), Marko Mahin (Antropolog Dayak) dan Lumbis (Cendikia Muda Dayak yang dikenal memiliki ide-ide brilian dalam konsep dan analisa yang tajam, merupakan pemerhati perbatasan Indonesia).
Dalam pertemuan tersebut terdapat tujuh sidang, masing-masing dengan bahasan Problem Sosio-Politik Manusia Unggul; Pemahaman, Tantangan, Jawaban untuk Industri 4.0; Menguat dan Melebarnya Radikalisme: Problem dan Solusi; Papua, Komprehensif Masalah dan Solusi Baru; Adab dan Budaya, Krisis dan Jalan Keluar; Finalisasi Hasil Rapat Tiap Isu/Masalah; serta Finalisasi, Pemufakatan, Rekomendasi, Penandatanganan dihari penutupan.
“Temu Mufakat Budaya Indonesia (MBI) 2019″ ini mempertemukan antara 50 pemikir, ilmuwan, cendekiawan, budayawan, sastrawan, untuk saling bertukar pikiran, mengidentifikasi masalah mendasar negeri ini serta mencapai mufakat terkait upaya solusinya,” dan akan menjadi rekomendasi kepada pemerintah utuk menjadi perhatian dan diharapkan dirumuskan menjadi sebuah kebijakan Nasional, kata Radhar Panca Dahana
Yang menarik perhatian dalam pertemuan tersebut paparan Lumbis dalam mengulas Manusia Unggul dan Radikalisme dari sisi perspektif masyakakat Dayak, diamana menurut dia bahwa ukuran manusia unggul itu masing-masing suku pasti berbeda-beda, dimasyarakat Dayak manusia unggul itu diukur dari jumlah kepala yang diperoleh dan dipajang di rumah panjang atau dalam bahasa Dayak Agabag Ulun Masiog dan berapa Budak yang pelihara atau dalam ukuran lain berapa luas ladang atau seberapa orang yang mampu dilindungngi itu pengertian manusia unggul, tetapi praktek tradisi berburuh kepala (Ngayau), perbudakan dan pengahapusan sistim kasta telah dihentikan sejak adanya Perdamaian Tumbang Anoi 1894 yang diprakarsai oleh Damang Batu dan dikuti rangkaian perdamaian berikutnya yang serupa di Perdamaian Sungai Kapit, Perdamaian Batu Pangasaan dan Perdamaian Long Nawang, disanalah suku bangsa Dayak mulai menata kehidupan hubungan sosial yang lebih baik dan pada masa ini Lumbis menyampaikan bahwa Majelis Adat Dayak Nasional (MADN), Dewan Adat Dayak (DAD), ICDN, FIDN, MHADN dan FDKJ merumuskan salam Dayak Nasional bahkan salam Dayak Internasional yang berbunyi Adil Ka’ Talino Bacuramain Ka’ Saruga, Ba’ Sengat Ka’ Jubata yang artinya bahwa manusia itu harus adil terhadap sesama, bercermin/berkiblat ke surga/ orang suci dan harus selalu ingat bahwa kehidupan itu bersumber dari Tuhan, menurut Lumbis yang merupakan Cendikiawan termuda yang mengikuti acara temu Mufakat Budaya Indonesia tahun 2019 bahwa Manusia Unggul itu dalam Perspektif Dayak termaktup dalam salam tersebut, unggul tidak lagi diukur dalam makna tunggal dan individualisme tetapi lebih kepada kemanfataan hidup terhadap komunitas secara kolektiv.
Selanjutnya Putra Dayak dari Dayak Agabag Kaltara ini, menyampaikan bahwa sumber Radikalisme itu bukan saja dari benturan peradabpan Dogma Ideologi tetapi juga bersumber dari kebijakan pemerintah yang tidak memperhitungkan keberagaman dan keadilan, Lumbis mencontohkan Kebijakan Transmigrasi yang seakan mengikis dan mencabut Budaya Lokal dan jika kedepan pola Transmigrasi saat ini akan menyulut Konflik horizontal terutama di Kalimantan, Sumatera dan Papua, oleh karena ia menyarankan agar dalan temu Mufakat Budaya Indonesia ini juga mendorong percepatan pengesahan UU Perlindungan Masyarakat Adat yang akan menjadi payung hukum masyarakat adat untuk bertahan dalam gempuran arus moderenisasi.
Radhar yang juga Koordinator Temu MBI 2019 melanjutkan, semua peristiwa yang terjadi belakangan ini tidak lain puncak dari gunung es penyakit berat atau magma dalam tubuh bangsa kita. Mulai dari kejahatan didalam keluarga yang tidak ada presedennya, perilaku degil elit yang kian merajalela, kasus Papua yang kian akut, hingga problem rutin seperti terorisme/radikalisme, narkoba, kemiskinan atau ketimpangan sosial-ekonomi yang kian tajam, dan banyak masalah lainnya.Radhar bahkan sampai menyinggung kasus seorang ibu di Sukabumi, Jawa Barat yang tega membunuh anak angkat hingga inses dengan dua putranya, pada September lalu.
“Coba, kawan-kawan yang jago menulis. Sebelum ada kasus ini, sampai tidak ada diimajinasi anda untuk menulis peristiwa seperti ini. Tidak adakan? Karena peristiwa seperti ini sudah diluar akal sehat kita,” tegas Radhar.
Dengan alasan itulah, MBI 2019 dengan tema “Penyakit dan Panasea Hidup Berbangsa Kita” yang dimulai Selasa (29/10) sampai Kamis (31/10) menjadi ruang dialog untuk identifikasi dan diagnosis berbagai penyakit kronis bangsa ini, serta menampung aspirasi dan masukan dari para pemangku kepentingan dan kelompok strategis dari berbagai wilayah Indonesia.
Sekedar catatan, Mufakat Budaya Indonesia (MBI) sendiri adalah sebuah forum pertemuan gagasan terbuka bagi para pemikir terkemuka Indonesia, baik dari latar belakang akademik, artistik, religius, tradisi, pemerintahan dan lainnya, yang didirikan pada medio Juni 2007 di Jakarta. Berawal dari inisiatif Radhar Panca Dahana, yang kemudian menjadi koordinatornya, mengakomodir kegelisahan teman-temannya, para aktivis seni dan budaya, pada situasi negeri pada masa itu. (Lbs008)