23.8 C
Singkawang
More
    BerandaPolitikBhinneka Tinggal Duka

    Bhinneka Tinggal Duka

    | Penulis: Hertanto

    Belum setahun saya menulis artikel dengan tema ”Hargai Perbedaan” yang dimuat detikborneo, tepatnya tanggal 04 Desember 2021. Sebuah tulisan yang berangkat dari keresahan pada perilaku sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Tindakan semena-mena yang dilakukan segelintir orang dengan mengatasnamakan rakyat atau masyarakat sekitar untuk menekan dan melarang pendirian rumah ibadah bahkan menutup dan merobohkannya serta menghentikan kegiatan kerohanian terhadap warga minoritas.

    Kembali terulang peristiwa yang sama.

    Dilansir dari kompas.com tertanggal 08 September 2022 menuliskan, ”Sejumlah orang yang menamakan diri Komite Penyelamat Kearifan Lokal Kota Cilegon menolak pembangunan rumah ibadah Gereja HKBP Maranatha di Lingkungan Cikuasa, Kelurahan Geram, Kecamatan Grogol, Kota Cilegon, Banten.” Bukan tanpa alasan mereka melakukan hal tersebut. ”Aksi penolakan dilakukan berlandaskan Surat Keputusan (SK) Bupati Kepala Daerah Tingkat II Serang Nomor 189/Huk/SK/1975 tertanggal 20 Maret 1975 tentang penutupan gereja atau tempat jamaah bagi agama Kristen dalam daerah Kabupaten Serang (sekarang Cilegon).”

    Banyak pro – kontra terkait hal tersebut. Bahkan issue muncul dan mencuat dari Ketua RT setempat yang mengaku bahwa warga diberi uang untuk menyetujui pembangunan gereja. Roni, sebagai Ketua RT.04 Lingkungan Cikuasa mengklaim bila warganya diberikan uang sebesar Rp. 1 juta per orang.

    Melihat kasus di atas, siapa sesungguhnya yang harus bertanggung jawab? Apakah kejadian tersebut baru terjadi? Tentu tidak! Sudah banyak kasus serupa di berbagai daerah Nusantara ini. Lalu apakah adanya pembiaran dari pemerintah? Bila tidak, mengapa hal ini terus berulang? Ini tidak hanya tentang rumah ibadah yang disebut gereja, namun juga rumah ibadah lainnya. Hingga saat ini, kelompok minoritas masih mengalami terhambatnya niat membangun rumah ibadah. Baik karena Peraturan Bersama Menteri No. 8 dan 9 Tahun 2006 tentang ”Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah / Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, Dan Pendirian Rumah Ibadat” yang justru telah menjadi pemicu ketegangan dan konflik antar pemeluk agama, sekalipun peraturan ini bertujuan untuk menciptakan kerukunan umat beragama, maupun karena alasan lainnya, salah satunya sejarah, sebagaimana kasus Cilegon. Suatu gambaran paradoks yang bisa kita saksikan bersama. Apakah ini ada akhirnya? Entahlah!

    Sesungguhnya, secara ideal substansi peraturan hukum (Peraturan Bersama Menteri) harus dapat menciptakan kepuasan bagi seluruh masyarakat tanpa mengabaikan hak-hak warga negara. Muatan hukum seyogyanya tidak hanya mengandung nilai-nilai dan norma-norma serta ajaran-ajaran normatif keagamaan dan moralitas, namun seharusnya juga mengandung nilai-nilai universal mengenai hak dan kewajiban warga negara. Sebagai produk hukum, Peraturan Bersama Menteri menjadi tanggung jawab pemerintah sebagai pihak yang mensahkannya. Degradasi kerukunan antar umat beragama terus terjadi. Banalitas dan intoleransi antar umat beragama sepertinya semakin tidak terbendung. Krisis akhlak tidak dapat dihindari. Bila hal ini terus terjadi tanpa dapat diantisipasi, bukan mustahil kerenggangan jarak toleransi akan semakin jauh dan kecurigaan antar umat beragama akan semakin dalam. Hal ini tentu sewaktu-waktu akan meledak seperti bom waktu.

    Negara menjamin kemerdekaan warga negara untuk memeluk agama (Undang Undang Dasar Pasal 29 ayat 2), sementara pemerintah berkewajiban melindungi warga negara dalam melaksanakan ajaran agama. Dari hal tersebut, salahkah bila dikatakan mendirikan rumah ibadah adalah hak setiap komunitas agama yang didasarkan pada keperluan yang nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama? Sepanjang itu dilakukan dengan tetap menjaga kerukunan antar umat beragama, tidak mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum serta mematuhi perundang-undangan, bukankah sah untuk dijalankan?

    Mungkin kita yang tinggal di kota besar tidak terlalu merasakan dampak yang terjadi, sekalipun tidak dapat dipungkiri hal ini pun masih ada di sekitar kita, namun bagaimana dengan mereka yang tinggal di sudut-sudut kota bahkan desa-desa terpencil? Apakah tega kita berkata, ”biarlah itu urusan mereka!”

    Konflik sosial keagamaan jika dibiarkan akan berpotensi mengganggu stabilitas keamanan, politik, ekonomi dan ideologi yang tentunya berimplikasi pada terganggunya keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bila masalah di Cilegon dibiarkan begitu saja, bukankah hal ini akan berpotensi terjadi pada Bali, Nias, Maluku, Manado, Toraja dan kota lainnya yang memiliki masyarakat mayoritas?

    Sahabat detikborneo, mari kita luangkan sedikit waktu saja untuk bertanya pada diri sendiri. Bila rasa yang mereka rasakan, kita juga rasakan, apa yang harus diperbuat? Apakah berserah pada keadaan? Ataukah biar airmata yang menjadi jawaban?

    Wahai Pemerintah, Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat, dan setiap warga negara, Bumi Nusantara ini rumah kita! Rumah yang di dalamnya terdapat aneka ragam suku, budaya, bahasa, etnis bahkan agama. Bersatulah! Ataukah kita (sekali lagi) tega membiarkan semboyan Indonesia menjadi BHINNEKA TINGGAL DUKA?

    Bionarasi

    HERTANTO Hertanto Ruhiman

    Hertanto, S.Th., MACM, M.I.Kom., M.Pd.

    Penulis merupakan Pendiri Ruhiman Ministry, sebuah lembaga yang bergerak di bidang Pewartaan dan Kegiatan Sosial.

    Latest articles

    Explore more

    Arsip berita