27.4 C
Singkawang
More
    BerandaSastraCerpen | Gerimis Cinta di Haluan Kapal

    Cerpen | Gerimis Cinta di Haluan Kapal

    | Penulis: Mugeni

    Angin menyergap tubuh ketika kapal yang bernama punggung Sultan Ageyo perlahan masuk menyusup Sungai Sekonyer yang tenang. Gerimis datang perlahan jatuh di atas pucuk-pucuk daun nipah yang berjejer di kiri kanan sungai yang konon dulunya bernama sungai buaya ini.

    Lima belas orang penulis dari komunitas penulis Lembaga Literasi Dayak, sebelas orang di antaranya adalah perempuan dan berprofesi sebagai guru, sedikit gaduh bertanya kepada Mr. Ovie, si pemandu wisata yang membawa rombongan menuju Taman Nasional Tanjung Puting.

    “Ini adalah Sungai Sekonyer. Dulunya pada saat zaman penjajahan bernama Sungai buaya…,” kata Mr. Ovie memulai penjelasan.

    “Waduh, berarti banyak buaya donk di sungai ini?” tanya seorang anggota rombongan. Wajah para perempuan itu sedikit berubah, memperlihatkan sedikit ekspresi rasa takut. Beberapa di antaranya terlihat menggeser duduknya dari pinggir agak ke tengah lantai kapal wisata yang berkapasitas 25-30 orang itu.

    “Dulu, ada seorang Bule yang tidak mengindahkan agar jangan berenang di sungai pernah diterkam buaya dan tidak ditemukan lagi hingga sekarang. Jadi nanti agar semua peserta tour ini hati-hati dan jangan tergoda dengan jernihnya air sungai lalu berenang di sungai. Karena itu akan berbahaya sekali.”

    Mr. Ovie kembali mengingatkan.

    Para perempuan itu jelas memperlihatkan ekspresi rasa takutnya dengan cerita keganasan buaya. Kisah buaya memangsa bekantan yang jatuh ke sungai atau menerkam manusia yang sedang berenang sudah sering didengar.

    Lalu cerita tentang buaya putih dan buaya kuning siluman yang sering memperlihatkan diri di pinggiran sungai di sekitar pemukiman, juga sudah akrab di telinga penduduk Borneo. Cerita tentang keganasan buaya sudah pasti membuat para perempuan itu pikir-pikir untuk berani main-main di sungai.

    Perempuan takut dengan buaya sudah mafhum. Tetapi ekspresi takut mereka segera menghilang setelah cerita beralih ke soal banyaknya spesies burung yang berada di kawasan Tanjung Puting. Juga ketika saat malam rombongan akan bisa melihat gerombolan kunang-kunang.

    Belum lagi pada saat menjelang senja di sana-sini sekawanan bekantan dan monyet biasa terlihat beratraksi bergelantungan di dahan-dahan dan ranting-ranting pohon di sepanjang sungai Sekonyer. Kisah perebutan kekuasaan antara orang utan yang bernama Tom dan Kosasi yang berkepanjangan, dan

    Cerita satwa-satwa lain yang berada di Tanjung Puting selalu menjadi cerita yang menarik.

    Sementara rombongan masih terkonsentrasi mendengar penjelasan Mr. Ovie, aku yang sudah beberapa kali berkunjung ke Taman Nasional Tanjung Puting diam-diam beranjak ke haluan kapal yang pelan melaju menyusuri Sungai Sekonyer yang eksotik. Kemudian asyik mengambil foto beberapa objek di pinggir sungai.

    ***

    Aku terus berdiri di haluan kapal yang seluruhnya terbuat dari kayu besi itu. Tanpa sadar, aku hanyut dalam kenangan 20 tahun lalu, ketika berkunjung pertama kali ke Tanjung Puting.

    Ketika aku sedang asyik mengamati pohon-pohon nipah dan pohon rasau di pinggiran sungai, juga riak air yang jernih berwarna hitam bening dan pemandangan hutan tropis yang sangat mempesona di kiri-kanan sungai, Asih yang cantik dan pendiam itu tiba-tiba sudah berdiri di sampingku. Jelas jantungku kontan berdetak cepat dan langsung terasa ada getaran aneh menyengat di dada. Sambil sedikit tersenyum dan lirikan khasnya yang menggetarkan hati, tangan Asih diulurkan untuk mengambil kamera di tanganku.

    “Sini saya ambilkan fotomu,” katanya lembut. Duh, denyut jantungku tambah berdegup.

    Kuserahkan kamera ke Asih, dan ketika tangan kami bertemu di ujung kamera, jari-jari kami sedikit bersentuhan. Tidak perlu menunggu bergenggaman tangan, seketika perasaanku melayang ketika jari-jari tangan kami bersentuhan sedikit dan hanya sepersekian detik itu.

    Kulihat dan kurasakan Asih merasakan hal yang sama. Dia tersenyum dan terasa memperlambat menarik tangannya. Sambil sedikit tersenyum kemudian Asih mengambil fotoku dengan background Sungai Sekonyer berkeliling hutan tropis nan hijau. Meski sedikit salah tingkah, senyumku lepas saat diambil foto oleh Asih.

    “Terima kasih,” kataku pendek, sambil mengambil kembali kamera dari tangannya, dan Asih hanya membalas dengan secercah senyum yang menawan. Kami kemudian terdiam di tengah dinginnya udara Sungai Sekonyer. Kapal wisata terus melaju bersama diam kami tanpa kata-kata. Itu memang kerap terjadi bila Aku dan Asih berkesempatan berduaan.

    Sejak sama-sama masuk SMA, memang pertemananku dengan Asih terasa aneh. Kadang merasa dekat dan kadang merasa jauh. Kadang pulang jalan kaki sama-sama, kadang pulang sengaja memisah melalui jalan yang lain meski sebenarnya rumah kami yang tidak terlalu jauh dari sekolah searah. Tetapi Aku merasakan mendapat suatu perhatian tersendiri. Mata kami sering saling menatap saat duduk di ruang kelas meski hanya sekejap mata. Aku harus mengakui telah jatuh cinta dengannya, meski perasaan itu hanya tersimpan rapi di hati.

    “Gerimis lagi,” kata Asih pelan mengejutkanku dari lamunan.

    “Oh ya, mudahan tidak akan lebat.” Kataku pelan.

    “Sini aku ambil fotomu ya?” Kataku lagi sambil menarik pelan lengan kanan Asih untuk ganti posisi denganku. Asih tidak menolak lengannya kugapai. Duh, kembali hatiku berdegup kuat. Tanganku agak gemetar gugup saat mengarahkan kamera mengambil gambarnya.

    “Terima kasih ya,” Sekali ini Asih yang mengucapkan terima kasih dengan suaranya yang lembut, tanpa terdengar oleh teman-teman lain yang ada di dak kapal yang terus berjalan. Kapal terus melaju, dan kami terdiam lagi di bawah gerimis yang terus jatuh perlahan. Aku sedikit melirik ke arah Asih yang kelihatan sedikit menahan dingin. Rambutnya yang dipotong sebahu kulihat mulai membasah.

    “Dingin, gerimisnya tidak berhenti,” Kataku pelan sambil menoleh ke arah Asih. Asih tersenyum tanpa menoleh ke arahku. Tapi sudut matanya kulihat mengerling ke arahku. Aku melihat senyumnya tersungging.

    “Ya, tapi gerimis ini mengesankan,” Jawab Asih lirih.

    “Lebih baik kamu naik ke atas, nanti sakit,” saranku ke Asih, meski sejatinya aku mau dia tetap di situ, duduk di sampingku, di bawah rintik gerimis.

    Asih diam tidak menjawab. Kami terdiam lagi, mengembara dalam pikiran masing-masing.

    Entah apa yang ada di pikirkan Asih saat itu. Bagaimana pula kecamuk perasaannya. Aku mencari cara bagaimana agar suasana tidak begitu kaku. Di tengah belantara diam, kami yang mengembara itu, aku teringat kisah suatu saat berhujan ria dengan Asih saat pulang sekolah.

    Saat itu, sepulang sekolah, mendung yang sudah lama menggumpal di langit luruh ke bumi disertai angin kencang. Pohon-pohon bergelayutan diguncang angin. Daun-daun beterbangan dan pasir berdebu diseret angin menyapu jalanan.

    Aku dan Asih berlari untuk segera sampai di rumah yang tidak terlalu jauh dari sekolah. Aku berlari kencang tanpa menyadari Asih terhuyung tertinggal di belakang. Menyadari itu, aku segera berlari ke belakang dan meraih tangan Asih, kemudian membawanya berlari sedikit agak kencang.

    Tanpa terduga Asih hilang keseimbangan dan akan terjatuh. Refleks, aku menyergap tubuhnya untuk menyangganya agar tidak terjerembab. Dan, aku pun memeluk tubuhnya seketika, kemudian memapahnya mencari perlindungan di teras rumah penduduk.

    Di antara dingin derasnya air hujan, sentuhan tubuh Asih terasa hangat. Sesampai di teras rumah tempat berlindung, pelan pelukanku ke pinggang Asih kulepaskan setelah Asih menatapku dengan matanya yang bulat berbinar mengisyaratkan agar aku melepaskan tanganku dari pinggangnya. Tentu saja aku tersipu malu, tapi Asih malah mengucapkan kata yang membuat hatiku berbunga-bunga.

    “Terima kasih,” ucap Asih lirih sambil mengibaskan air hujan di bahunya yang sudah basah kuyup.

    “Maafkan Aku,” kataku pelan.

    Asih tidak menjawab. Dia tampak menggigil kedinginan. Seperti biasa, kami pun kemudian tenggelam dalam kedinginan dan membisu tanpa kata-kata, sampai akhirnya hujan pun tinggal menyisakan gerimis dan kami sambil berlari-lari kecil meneruskan perjalanan pulang.

    ***

    Kapal Sultan Ageyo terus melaju di tengah belantara Sungai Sekonyer. Aku terkejut dari lamunan ketika ramai terdengar teriakan dari rombongan komunitas penulis Lembaga Literasi Dayak yang semuanya para guru itu mengabarkan bahwa perjalanan yang menakjubkan itu telah tiba di Camp Leakey.

    “Horee… Kita sudah sampai di Camp Leakey!” Mereka berteriak penuh kegembiraan.

    Seorang perempuan cantik tersenyum menantiku dengan selindung payung merah di tangannya. Ketika rombongan mau turun ke Darmaga Camp Leakey.

    Dia adalah istriku….

    ***

    Latest articles

    Explore more

    Arsip berita