| Penulis: Maria Fransisca
Tiga puluh menit lagi, senja akan menyapa. Terlihat peluh mengucur deras dari dahi pria setengah abad itu. Setelah mengakhiri tebasan terakhirnya, ia menyandarkan bahunya di pohon pelaik (Astonia scholaris), yang rencananya akan ia tebang untuk menambal dinding rumahnya yang dilahap rayap. Begitulah kegiatannya sehari-hari, menjelang musim bakar ladang di Pontan, sebutan wilayah di tanah warisan yang ia dan mendiang istrinya terima. Sebelum pulang ke rumah, tak lupa ia memetik pucuk singkong, untuk santap makan malamnya yang akan disandingkan dengan ikan asin baung (Bagrus nemurus), oleh-oleh yang ia bawa sepulang dari Tayan, untuk Maji To, putra semata wayangnya.
Di malam harinya, Maji bertanya kepada ayahnya, yang dipanggilnya abah.
“Abah, jadi kah tahun ini kita pakai Pontan lagi untuk bikin ladang? Aku dah ndak sabar mau tanam peringgi, jagung pulut, timun batu, kundur, terung asam, bunga selasih, dan ensabi” Tanya Maji bersemangat, sambil menunjukkan bibit-bibit tanaman yang sudah ia kumpulkan dan keringkan di atas para-para. Ia ingin agar tanaman-tanaman ini dapat dilihat oleh anak cucunya kala nanti.
“Hmmmm. Jadi, Nak. Mulai besok, kamu bisa bantu abah nebas rumput, nebang pohon. Jangan lupa bawa kapak yang biasa dipakai. Pulang dari Pontan tadi, abah sudah ngasah kapak itu. Hati-hati pakainya. Tajam.” Terang abah, seperti ragu-ragu dengan apa yang diungkapkan, apalagi yang ada hubungannya dengan Pontan.
Tidak banyak percakapan antara Maji dan abahnya malam itu. Di remang-remang cahaya strongkeng, terlihat anak dan bapak itu beristirahat lebih awal. Tak hanya itu, Maji dan abahnya bukan bapak dan anak yang akrab. Ada satu sisi dari abahnya, yang tidak disukai Maji.
Butiran-butiran embun yang jatuh pagi itu, melembabkan dedaunan keladi yang Maji tanam di samping rumahnya. Sama seperti mendiang ibunya, Maji suka menanam, entah bunga maupun tanaman lain. Abah Maji terlihat sedang membungkus nasi dengan daun todoh (Maranta arundinacea) dan dua lembar lainnya akan dijadikan piring saat makan siang nanti. Sebuah takin diraihnya sebagai wadah penyimpan makanan.
“Nak, yok kita ke Pontan. Bekal sudah abah siapkan. Ada pekasam ensabi kesukaanmu, dimasak campur hati ayam.”
“Sedap!” Saat mengucapkan sepatah kata itu, Maji teringat kepada emaknya yang punya resep makanan kesukaannya itu. Emak yang rajin mencari sayur ke hutan. Emak yang selalu Maji ikuti. Emak yang mati-matian mempertahankan Tanah Pontan, tanah leluhur mereka. Maji bertanya.
“Nanti kita berangkat lewat mana, Bah? Lewat depan tugu Pangsuma atau lewat jalan tikus?” Tanya Maji.
“Lewat jalan tikus, Nak. Lebih cepat sampai ke Pontan. Tak perlu kau nyeberang jalan. Pulangnya juga sama, tak perlu kau lewat depan tugu Pangsuma.” Terang abah Maji.
Sesampainya di Pontan, abah dan Maji segera memulai kegiatannya. Menebas. Bagian dari agenda membuka lahan dalam sistem perladangan suku Dayak. Meskipun kurang klop dengan abahnya, Maji tetap berbakti, seperti seorang anak yang segan kepada orang tuanya. Lagi-lagi, di dalam hatinya, Maji masih menyimpan rasa kurang percaya dengan apa saja yang dituturkan abahnya.
Tak disangka, hari itu Abah Maji berperangai tidak seperti biasanya. Ia meninggalkan Maji seorang diri di tanah bakal ladang itu. Langkahnya dipercepat, agar segera sampai ke tempat tujuannya. Sementara itu, Maji mencari-cari jejak ayahnya yang terakhir kali ia lihat sedang menebas rumput di pinggiran jerangau (Acorus calamus), yang dulu ia tanam. Mungkin abah sedang mencari tempat buang hajat, pikirnya. Atau mungkin abah sedang pergi ke payau untuk membasuh wajah.
Saat itu, sang surya belum berada tepat di atas kepala Maji. Karena abahnya tak kunjung menampakan batang hidungnya, Maji memutuskan untuk kembali ke gubuk. Kediaman mereka yang bisa dikatakan reot itu, terletak di ujung wilayah Tayan. Di sepanjang perjalanan pulang, ia memetik apa saja yang bisa mengobati rasa lapar pada dirinya dan abahnya. Pakis, rebung, dan tipo (Eltingera elatior), pas untuk sajian makan malam. Kali ini, Maji ingin pulang lewat jalan di depan tugu Pangsuma, sebuah tugu yang dibangun untuk mengenang sosok pahlawan Dayak yang pernah berjuang melawan Nippon.
Setelah melewati tugu tersebut, hampir tiga jam, Maji duduk di dangau yang entah siapa pemiliknya. Sembari menunggu hujan reda, maji memisahkan daun pakis yang tadi ia petik, dipisahkan dari tangkainya. Tidak jauh dari dangau tersebut, ada sebuah rumah yang terbilang mewah milik Dani, seorang taipan kondang yang sudah malang melintang dalam dunia percukongan. Meskipun Asia dalam situasi krisis, taipan yang satu ini sakti dalam hal finansial. Fulus tak pernah surut sedikit pun.
Di antara sayup-sayup suara hujan, Maji mendengar suara yang sangat dikenalinya. Dari jauh, juga tampak sesosok yang dikenalinya, berkumis tebal, berambut keriting setengah cepak, dengan tubuh tinggi besar. Tak lain, itu abah.
Debu-debu krisis moneter 1998 enggan beranjak. Demkian penyebab Abah Maji ingin menukarkan Pontan dengan recehan rupiah. Tak hanya sebab tunggal itu, Abah Maji memang orang yang gila jual tanah. Sesuatu yang “menghasilkan” itu begitu panas di tangannya. Itulah sifat abah yang kerap menghantui pikiran Maji. Dan hari ini, Maji mendengar abahnya berinteraksi dengan taipan tersebut. Ternyata, itu pertemuan Dani dan abah Maji yang kedua kali.
“Bisa diatur. Tanah itu dari dulu sudah kulirik. Cukong lainnya juga melirik. Kutahu Pontan itu masih bertembawang. Kutahu, tanah di sana luas. Banyak petani yang empunya tanah di sana sudah menjual sebagian kepada kami. Kutahu, sudah berton-ton padi yang dihasilkan di tanah yang su…..” Penjelasannya di sela oleh abah Maji.
“Lima belas hektar, dua juta rupiah. Lunasi segera, Pak!” abah Maji menyelanya.
“Lebih dari itu juga ada. Fulus sudah siap. Akan diantar oleh anak buah saya. Mereka mancing tapah di Sungai Kawat. Atau jika Bapak bertemu mereka, silakan saja minta berapapun. Asalkan Pontan jadi milik saya.” Jawab Dani. Dalam benaknya, Dani tertawa. Seorang miskin menukarkan tanahnya dengan nilai rupiah yang tidak seberapa baginya.
“Di Pontan, Bapak bisa menanam apa saja. Tanah yang subur. Jenis padi apa pun yang ditanam di sana, hasilnya ndak bikin kecewa. Mau tanam kelapa sawit, karet juga OKE! Bonusnya, ada tembawang. Ada belian. Ada pohon durian. Ada pohon kweni. Banyak lah.” Terang Abah maji, mendikte sambil menunjuk jari kelingking hingga jari manis.
Abah maji dengan bangganya menawarkan kelebihan tanah leluhurnya. Sama seperti marketing yang menawarkan rumah, lengkap dengan fasilitasnya di dalamnya.
Di balik satu-satunya pohon belian (Eusideroxylon zwagwei), yang tumbuh di sekitar tugu Pangsuma, Maji mengintip dan mengikuti jejak abahnya, melewati jalan tikus yang biasanya mereka lalui. Matahari yang mulai condong, masih menerangi perjalanan Maji yang sembunyi-sembunyi. Jika ketahuan, abahnya yang pemarah itu, langsung naik pitam, bahkan dapat menebas lehernya dengan parang.
Saat santap malam, Maji memberanikan diri. Lidahnya sudah gatal ingin bertanya.
“Bah, kapan bakar ladang? Udah ndak sabar mau tanam-tanam, Bah! Udah lama kita ndak makan sayur ladang.” Tanya Maji, sebenarnya dia tahu jawaban pertanyaannya ini. Maji hanya mencairkan kakunya suasana.
“Ini kan dah akhir bulan tujuh, Nak. Sabarlah. Ndak lama lagi. Sebelum tujuhbelas Agustus kita dah bakar ladang kan biasanya.” Jawab abah.
“Bah.. Ngapa Abah tadi larang aku lewat tugu Pangsuma?”. Maji bertanya dengan hati-hati.
“Maksud kau apa?” “Tadi kan abah dah bilang ke kau. Biar ndak jauh mutar. Ngerti?” Abah yang sedang menikmati sayuran pakis, tersinggung. Nada bicaranya meninggi.
“Penyakit lama Abah kambuh? Pontan ndak bernilai kah? Usiaku enam belas tahun. Selama itu Pontanlah yang kasi makan aku, Bah! Kita. Ingatkah Abah? Dulu emak sering kelahi dengan Abah, emak mati-matian juga pertahankan Pontan. Aku ingat, sampai emak menghembuskan napas terakhirnya, emak ndak rela tanah-tanah leluhur ditukar dengan recehan itu. Recehan yang ngantar kita ke jurang kebodohan, kemiskinan. Pontan dijual. Habis itu kita mau makan apa, Bah? Pontan dijual sama dengan kita kasi makan cukong-cukong nakal itu. Mereka semakin kaya, kita semakin miskin, Bah!” Maji pun tak mampu menahan kata-katanya.
Tanggal enam belas bulan ke delapan 1999, pukul nol nol lebih dua belas menit. Anak buah Dani datang ke gubuk. Dua juta rupiah sudah dalam genggaman abah Maji. Demikian, Pontan sudah tidak lagi miliknya. Eigendom Pontan berada di tangan taipan yang beristri lima itu. Sementara Maji dengan tangan kosong, pergi ke kampung lain. Pohon pelaik yang dibiarkan menua di Pontan lebih dari sepuluh dekade itu, tidak akan pernah bisa menambal bolongan di dinding gubuk Maji, yang tak muat di masuki sebanyak lima orang itu.
Bibit-bibit tanaman yang ia keringkan di atas para-para itu, entah di mana. Maji yang belum genap berusia tujuh belas tahun itu, gagal menjadi pahlawan biodiversitas di Pontan, tanah leluhurnya, karena ulah abahnya.
***
Bionarasi
Maria Fransiska dilahirkan di Sanggau, Kalimantan Barat Copyeditor di Lembaga Literasi Dayak (LLD). Pernah bekerja di Andi Publisher (CV. Andi Offset Yogyakarta) editor e-Book. Beberapa kali ikut dalam penulisan antologi cerpen, salah satunya Antologi Cerpen “Ganar” (2021).