28.5 C
Singkawang
More
    BerandaSpiritualGereja “Janda Miskin”

    Gereja “Janda Miskin”

    | Penulis: Fr. Deodatus Kolek

    Gereja hadir bagi orang yang memerlukan. Ia voice of voiceless. Yang dapat membawa mereka keluar dari lilitan yang sulit ini. Siapa berani buka suara bagi kaum papa dan dina?

    Gereja, tubuh mistik Kristus, sarat dengan simbol.

    Dalam Perjanjian Baru misalnya, “janda” adalah simbol wong cilik, tak-berdaya, kaum marginal, tak berpunya. Dan sederet ter- lain. Yang mengacu serba-kurang!

    Gereja Katolik khususnya, memaklumkan: option for the poor. Peduli. bebela rasa. Gereja-nya kaum pinggiran. Mengapa? Sebab, “Aku tabib untuk (menyembuhkan) orang sakit, bukan orang sehat.” Kiranya, nats ini terang benderang.

    Tentang “janda”, Aklitab dan Gereja telah pun mencontohkan. Apa dan bagaimana kita harus berpikir dan berbuat.

    Salah satu persoalan masyarakat Dayak dari zaman ke zaman adalah kemiskinan. Pekerjaan yang berharap pada hasil bumi menjadi penyumbang utama. Ladang untuk menghasilkan padi menjadi pekerjaan rutin setiap tahun bagi orang Dayak di desa-desa.

    Penghasilan lain ialah karet. Di banyak tempat karet menjadi sumber daya untuk hidup. Di tempat-tempat yang terdapat perkebunan sawit sebagian besar bekerja di perusahaan. Mereka berada di posisi kerja bagian kasar (menanam, memupuk, memanen). Jarang ada yang berada di kantor-kantor karena pendidikan tidak memadai untuk itu. Lilitan kesulitan ekonomi menjadi rintihan masyarakat Dayak, dari dahulu hingga saat ini.

    Meskipun hidup dalam kesederhanaan bahkan kadang terbatas, ada berita gembira. Di banyak tempat orang Dayak giat dalam menggereja.

    Tidak sedikit gereja di pusat-pusat kota maupun kampung-kampung melaksanakan kegiatan kebersamaan gerejawi yang meriah. Jarang ada berita bahwa orang Dayak berhenti menggereja karena sebaran amplop aksi puasa pembangunan yang setiap tahun disebarkan. Hampir tidak pernah terdengar bahwa para pastor, frater, atau suster yang mengunjungi orang Dayak mengeluh kelaparan karena tidak diberi makan.

    Umat Dayak Katolik dari kejauhan dipandang oleh Yesus seperti Dia memandang janda miskin yang memberi persembahan dua peser yaitu satu duit (Mrk 12:42).

    Di mata Yesus, Dayak memberi yang terindah dalam hidup mereka. Dalam setiap pemberian terkandung ketulusan yang menarik hati. Karena itu Yesus selalu menyimpan di dalam hatinya orang-orang Dayak. Hati Yesus yang terlilit duri-duri adalah hati yang merasakan tikaman-tikaman kesulitan orang-orang Dayak.

    Kehadiran Gereja di tengah lahan kemiskinan menjadi kehadiran yang penuh dengan perbendaharaan warta gembira.

    Kristus yang menebarkan keharuman-Nya wajib semerbak di tanah ini. Ia bukan saja diwartakan dalam bayang-bayang kemakmuran tetapi menancap pada isi Injil yang merupakan pusaka yang sangat berharga (bdk. Evangelii Nuntiandi, no. 15). Kadang kita melihat. Bahwa senyum sebagian orang Dayak di tengah kemiskinan adalah senyum harapan bahwa jiwa mereka diselamatkan Kristus.

    Salah satu ciri Gereja yang hidup adalah Gereja yang memberi dari kekurangan. Iman yang tertancap nampak pada persembahan tulus yang diserahkan dari setiap hasil nafkah. Yesus tidak memejamkan mata bagi mereka yang memberi dari apa yang dipunyainya sebagai persembahan indah.

    Dalam diri Yesus, terlihat jelas bagaimana Dia mempersembahkan diri yang tak mampu ditandingi sekalipun oleh janda miskin itu yakni hidup-Nya sendiri. Karena kasih karunia Yesus Kristus, “Ia yang oleh karena kamu menjadi miskin, sekalipun Ia kaya, supaya kamu menjadi kaya oleh karena kemiskinan-Nya” (2 Kor 8:9).

    Kehidupan Gereja di tanah ini bukan karena hanya sokongan orang-orang berada, sekalipun kita tidak melupakan jasa-jasa para donatur Gereja yang bermurah hati.

    Kehidupan Gereja di tempat ini karena banyak umat beriman yang meneladani janda miskin memberi dari kekurangannya. Mereka yang bekerja keras di samping menghidupi keluarga, menyekolahkan anak-anak, membiayai tatkala sakit, memenuhi kebutuhan primer yang mahal masih menyisihkan sebagian dari apa yang dimiliki sebagai persembahan.

    Persembahan mereka tanpa ada intensi khusus untuk keperluan pribadi. Niatan hati lebih baik memberi daripada menerima terpancar dalam hidup menggereja di tanah ini.

    Syukurlah bahwa kemiskinan yang terjadi oleh karena ketidakhadiran negara serta kekayaan alamnya dirampas masyarakat masih mampu menahan diri. Di tempat ini sangat jarang terjadi pemberontakan destruktif besar-besaran.

    Nilai-nilai cinta kasih memang sudah tertanam. Sedemikian rupa, sehingga yang diperlukan adalah suara. Voice of voiceless. Yang dapat membawa mereka keluar dari lilitan yang sulit ini.

    Nah. Siapa berani buka suara bagi kaum papa dan dina?

    ***

    Latest articles

    Explore more

    Arsip berita