| Penulis: Paran Sakiu
Berumah tangga adalah keinginan semua anak manusia di bawah kolong langit ini untuk beregenerasi dan lain sebagainya. Terkecuali bagi pribadi yang memang memilih untuk hidup melajang. Saat berumah tangga tidak semudah yang dibayangkan.
Ada berbagai macam pencobaan, kesulitan dan lain sebagainya. Ada yang tetap utuh hingga maut memisahkan. Ada yang kandas di tengah jalan dengan memilih untuk bercerai. Memilih bercerai tidak mengenal suku dan agama termasuk di dalamnya adalah suku Dayak Kanayatn.
Pada zaman dulu kala, suku Dayak Kanayatn sudah mengatur berbagai adat termasuk di dalamnya adat perceraian. Rumah tangga yang akan bercerai harus mempertimbangkan baik-baik segala kemungkinan yang akan terjadi jika perceraian yang akan ditempuh. Selain memikirkan dampak dalam sisi sosial, hukum adat juga menjadi pertimbangan yang tidak dapat diabaikan.
Jika ada badai dalam mengarungi kehidupan rumah tangga perceraian bukan solusi yang terbaik. Kebiasaan di kalangan suku Dayak Kanayatn di atasi dengan negoisasi berupa jalan damai. Kedua pasangan diberikan nasehat untuk rukun kembali. Melalui negosiasi yang diusahakan jarang terjadi perceraian.
Apabila menemui jalan buntu, maka perceraian mau tidak mau harus dimuluskan. Perceraian ditempuh karena sudah tidak ada kecocokan. Ada banyak faktor yang membuat ketidakcocokan. Faktor yang sangat berat dalam memuluskan perceraian ala Dayak Kanayatn ada dua. Faktor pertama adalah faktor perselingkuhan (babaya). Faktor kedua adalah faktor penganiayaan atau kekerasan rumah tangga (ngarubaya).
Baca juga: Pernikahan Ala Dayak Kanayatn
Perselingkuhan memang sangat menyakitkan. Pasangan yang dikhianati meminta kepada pengurus adat untuk segera mengurus perceraian. Pengurus adat akan memuluskan permintaan itu. Tidak ada istilah tawar menawar lagi. Biasanya pasangan yang berselingkuh berpotensi besar mengulangi perselingkuhannya. Kata perceraian adalah kata yang tepat untuk membubarkan rumah tangga yang demikian sekaligus pembelajaran bagi pasangan yang berkarakter jelek tadi.
Penganiayaan atau kekerasan rumah tangga tidak ada tempat dalam rumah tangga Dayak Kanayatn. Orang tua atau keluarga besar akan menempuh berbagai cara untuk menghentikan kekerasan itu. Keluarga akan berkumpul memberikan bimbingan. Ada juga yang dikenai hukum adat untuk efek jera. Jika kebiasaan itu tidak berubah maka perceraian sebagai solusinya.
Perceraian diatur dalam hukum adat. Beberapa referensi yang penulis dapatkan jika terjadi perceraian maka yang membayar hukum adat adalah pasangan yang meminta perceraian. Apalagi salah satu di antara pasangan belum mengadakan pesta. Pasangan yang menceraikan dikenai hukum timbang parangkat. Untuk itu dalam pernikahan Dayak Kanayatn wajib kedua pasangan melangsungkan pesta pernikahan. Tujuannya mengantisipasi segala kemungkinan termasuk jika terjadi perceraian meminimalkan pembayaran adat.
Tuntutan hukuman adat dalam perceraian ala Dayak Kanayatn yang harus dipenuhi adalah dua buah siam panabe’ kepada orang tua (rasa bersalah kepada orang tua). Dua buah siam panabe’ ke kampung halaman (rasa bersalah kepada masyarakat kampung). Dua buah siam pangalimak manggok picara (rasa bersalah kepada orang yang menjodohkan). Tuntutan hukuman ini tidak dapat ditawar-tawar. Wajib dipenuhi saat terjadi proses perceraian.
Alat-alat peraga dalam perceraian juga ditampilkan saat dilangsungkannya hukum adat tersebut. Diantaranya adalah satu buah mangkok, cincin yang sudah direnggangkan-putus, kunyit dan arang. Mangkok adalah wadah dalam menampung cincin, kunyit dan arang.
Cincin, kunyit dan arang sebagai alat peraga memiliki arti masing-masing. Jika salah satu pasangan memberikan satu buah mangkok dengan ketiga alat peraga tadi maka perceraian pun sah adanya.
Baca juga: Sunat ala Dayak Kanayatn
Adapun makna dari cincin renggang-putus membuktikan tanda keterpisahan. Artinya tidak ada ikatan diantara suami-istri. Sudah terpisah. Sudah memiliki kehidupannya masing-masing. Bebas mencari pasangan baru jika menginginkan menikah dengan yang lain. Tidak dapat dipersatukan lagi. Sudah ada jarak satu dengan yang lainnya.
Arang maknanya hampir sama dengan cincin sebagai pemutus hubungan. Menandakan di antara suami istri sudah tidak ada ikatan apa-apa lagi. Semua ikatan pada masa lalu berakhir. Mereka tidak boleh ada lagi saling mencampuri. Selesai sebagai pasangan suami-istri
Kunyit maknanya adalah penawar. Segala hal yang membahayakan mungkin berupa sumpah serapah, niat-niat jahat menjadi dibatalkan. Tidak membahayakan bagi kehidupan masing-masing pasangan yang sudah bercerai. Termasuk juga bagi anak-anak mereka jika tadinya mereka dikaruniai anak.
Alat-alat peraga dalam perceraian berupa sebuah mangkok berisi cincin cengang-putus, kunyit dan arang adalah bukti sah. Bukti sah bahwa pasangan suami-istri tidak ada hubungan lagi. Masyarakat menjadi tahu diantara pasangan tadi sudah terjadi perceraian. Demikianlah perceraian ala Dayak Kanayatn.
***
Sumber ilustrasi: https://cdn.popbela.com/content-images/post/20190720/400963d35b5b6603481a8844d719f688_750x500.jpg
***
Bionarasi
Paran Sakiu, S.Th. dilahirkan di Mentonyek pada 19 Maret 1971. Guru PAK di SMPK Rahmani, pegiat literasi.
Aktif menulis untuk www.detikborneo.com.
Menulis dan menerbitkan buku:
1. Menimba dari Sumur Yakub (Tangerang, 2019)
2. Kumpulan Cerpen: Hari Terakhir (Tangerang, 2020)
Menikah dengan Okseviorita dan telah dikarunia tiga orang anak, menetap di penjaringan, Jakarta Utara.