24.7 C
Singkawang
More
    BerandaSastraApi Awan Asap Korrie Yang Membakar Semangat

    Api Awan Asap Korrie Yang Membakar Semangat

    Penulis | R. Masri Sareb Putra

    Setting; dalam sebuah novel memang bukan suatu hal yang teramat substansi. Apalagi, dibandingkan isi cerita dan alur. Namun, tanpa setting. Sebuah novel tak punya kaki tempat berpijak di bumi. Ia abstrak. Bak karya filsafat.

    Dalam Api Awan Asap (AAA) karya sastrawan kawakan, Korrie Layun Rampan, setting yang dipilih pengarang adalah tanah kelahirannya, Kalimantan Timur. Kalau menurut logika, mestinya novel ini berjudul Asap Api Awan. Sebab awan adalah butiran air atau es kecil yang terlihat mengelompok di atmosfer, yang terjadi karena bantuan debu atau asap akibat industri yang higroskopik.

    Agaknya, pengarang secara sadar tidak mengikuti alur seperti itu. Dengan AAA, pengarang mendeskripsikan paradoks antara kearifan tradisional masyarakat Dayak mengelola hutan di satu pihak. Sementara tindakan pengusaha HPH dan HTI di pihak lain yang membuka hutan Kalimantan Timur dengan cara membakar lahan.

    …..” Bau asap menyeruak dari luar lou. Kebakaran hutan seperti momok dan hantu yang menyerang kawasan desa dan kota. Di cakrawala mengantung awan-awan asap yang datang dari berbagai arah… mendung yang menggantung, bukan mendung mengandung hujan tapi, mendung asap api yang datang dari lahan orang kaya dari kota” [hal. 34]. Pembakaran hutan oleh HPH dan HTI inilah penyebab kawasan Kaltim tidak hanya berawan clody tetapi juga tertutup awan overcast” .

    Karena mengenal setting pengarang dengan amat cermat melukiskan suasana. Kita diajak mengembara, memasuki belantara di mana indigenous people Dayak Benuaq bermukim, menyatu dengan alam dan hidup bergantung pada alam. Di sebuah kawasan, tepi sungai Nyawatan, penduduk membangun low betang, rumah panjang.

    Dari lou itu, dua sahabat Jue dan Sakatn setelah menempuh perjalanan 300 kilo meter, memasuki gua untuk mengambil sarang burung wallet. Jue yang baru sebulan menikahi Nori, putri Petinggi Jepi, bertugas masuk ke dalam gua sambil pinggangnya diikat dengan taki plastic; sementara Saktan menunggu di luar. Karena diam-diam, Sakatn juga mencintai Nori. Saktan lalu mengerat tali plastik itu. Akibatnya Jue tersesar dalam gua yang gulita.

    Dua puluh tahun setelah peristiwa itu terjadi, takkala malam terakhir dari delapan malam upacara perkawinan adat Sakatn-Nori, tiba-tiba Pune, putri Nori dari bibit Jue, terperosok dalam sebuah lubang aneh. Kakinya terasa dipegang orang dari bawah.

    Orang-orang mengira yang mencekal kaki pune adalah hantu. Namun, setelah khalayak ramai-ramai menarik Pune dari longsoran tanah, tiba-tiba muncul seseorang seperti manusia purba ke permukaan tanah. Badannya putih pucat karena tak pernah kena sinar matahari. Rambutnya panjang melewati tumit, dan matanya sipit. Tak ada yang bisa mengidentifikasi bahwa manusia tanah yang dikira tonoy itu adalah Jue, kecuali Nori dan Petinggi Jepi.

    Adegan yang penuh suspense itu, sekadar menunjukkan salah satu kelebihan pengarang di dalam bertutur. Hal ini tentu semakin memperkuat setting dalam novel ini yang juga menekankan betapa sebenarnya orang Dayak (Benuaq) sangat memperhatikan pelestarian lingkungan hidup.

    Unsur-unsur magis khas suku Benuaq juga diangkat penulis. Membuat bulu kuduk berdiri. Ternyata lubang celaka yang merongga, yang mencederai Pune, persis disitu dahulu berdiri sepokok beringin. Beringin itu ditebang, dibakar, lalu di atasnya didirikan low (hlm. 101). Kini areal sekitar pohon beringin itu dijadikan arena untuk urusan upacara.

    Dengan demikian, AAA boleh disebut “jilid kedua dari novel Korie sebelumnya yang juga memenangkan sayembara penulisan roman DKJ 1976 dan mengambil setting Kalimantan Timur.

    Menurut saya, AAA dari segi mutu dan teknik penceritaan, tak kalah dibanding Upacara. Bahkan, jauh lebih dahsyat!

    Dan juga jauh lebih matang.

    Silakan Anda membaca dan memabahbiaknya. Novel dengan setting tempatan Kaltim ini, sungguh memikat. Ia lebih indah dibaca daripada dicerita.

    Rasakan nuansa keberpihakan pengarang. Tak syak. Api Awan Asap Korrie membara sekalgus membakar semangat keDayakan kita.

    ***

    Bionarasi

    WhatsApp Image 2021 08 06 at 10.27.34

    R. Masri Sareb Putra, M.A., dilahirkan di Sanggau, Kalimantan Barat pada 23 Januari 1962. Penulis Senior. Direktur penerbit Lembaga Literasi Dayak (LLD). Pernah bekerja sebagai managing editor dan produksi PT Indeks, Kelompok Gramedia.

    Dikenal sebagai etnolog, akademisi, dan penulis yang menerbitkan 109 buku ber-ISBN dan mempublikasikan lebih 4.000 artikel dimuat media nasional dan internasional.

    Sejak April 2021, Masri mendarmabaktikan diri menjadi Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (PPM), Institut Teknologi Keling Kumang.

    Latest articles

    Explore more

    Arsip berita