| Penulis: Dr. Hendry Jurnawan, CLA.
Wilayah Indonesia paling timur, adalah pegunungan tengah Papua meliputi sepuluh kabupaten yaitu Jayawijaya, Puncak Jaya, Pegunungan Bintang, Tolikara, Yahukimo, Nduga, Yalimo, Lani Jaya, Mamberamo Tengah, dan Puncak.
Tulisan ini adalah hasil wawancara jarak jauh dengan salah seorang penduduk asli suku Yalimo, Papua, suku Yali, namanya Didimus Wandik, S. Pd., M.Si kini menjabat sebagai Kepala Dinas Koperasi, Kabupaten Yalimo. Papua, selasa tanggal 18 Januari 2022.
Kabupaten Yalimo adalah sebuah kabupaten di provinsi Papua, yang baru dibentuk pada tanggal 4 Januari 2008 berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008. Kabupaten Yalimo dimekarkan dari Kabupaten Jayawijaya, dengan ibukota terletak di distrik Elelim.
Jumlah penduduk kabupaten Yalimo berjumlah 103.714 jiwa (data 2020) dengan kepadatan 82,77 jiwa/km.
Menurut Didimus, Suku Yali sebenarnya memiliki kebudayaan yang hampir mirip dengan suku – suku lain di Papua. Namun, satu hal yang begitu mencolok dan menjadi ciri masyarakat Yali yakni tinggi badan manusia dewasanya tata rata hanya berkisaran 150 cm. Memang terkadang terdapat pengecualian, namun rata – rata tinggi penduduknya tak lebih dari 150 cm.
Didimus mengaku, Koteka adalah budaya khas kaum pria suku Yali di Kabupaten Yalimo, Papua, kini terancam punah, seiring makin banyaknya anak muda suku yang menggunakan pakaian modern. Semestinya harus dilestarikan pula.
Era kemajuan zaman, dan pengaruh budaya luar, mengakibatkan koteka, “Pakaian tradisional suku Yali” mulai ditinggalkan dan hanya generasi tua yang menggunakan. Generasi muda lebih senang berpakaian modern.
Menurut Didimus, sebelum pakaian ini benar-benar punah. Penggunaan pakaian tradisional ini masih dalam festival budaya maupun pada hari besar nasional, juga sudah merupakan salah satu cara untuk melestarikan pakaian adat atau budaya daerah kami.
Pakaian tradisional suku Yali, papar Didimus, adalah paduan antara koteka dan lingkaran rotan yang dililitkan ke badan. Bahan koteka, adalah buah labu panjang yang dikosongkan isinya kemudian dikeringkan dengan dijemur di atas perapian.
Setelah kering, lanjut Didimus, dipasang di atas kemaluan (testis) pria dan diikat dengan tali rotan halus yang dililitkan di bagian pinggang hingga perut. Dia menjelaskan lingkaran rotan di perut dan badan, juga menunjukkan tingkat keberanian seorang pria dari suku itu.
“Semakin banyak lingkaran yang dimilikinya, berarti semakin tinggi pula tingkat keberanian dan status yang dimilikinya itu,” kata Didimus. Karena, rotan hanya tumbuh di luar daerah Yali. Orang Yali biasa menyebut rotan hanya tumbuh di daerah musuh, dan untuk memperolehnya harus menempuh risiko.
Lingkaran rotan dan koteka, juga bukan cuma pakaian dan perhiasan. Akan tetapi ada kegunaan lain dari pakaian tradisional ini, yaitu untuk membuat api. “Rata-rata pria Yali membuat api dengan menggunakan sebuah tali rotan sebagai korek api,” tutur Didimus.
Didimus Wandik S.PD.,M.Si.
Untuk membuat api, seorang suku Yali akan mengambil sepotong rotan dari pakaian mereka, kira-kira sepanjang 60 sentimeter. Rotan itu lalu dililitkan ke sepotong kayu yang diletakkan di atas tanah, dikelilingi dengan rumput dan dahan kering.
Lalu, lelaki itu akan berdiri, dengan masing-masing kaki menginjak ujung kayu. Dengan tangan, mereka akan menarik tali rotan yang dililitkan tadi dengan cepat naik turun digesekkan ke kayu, sampai keluar asap, api mulai menyala, dan ujung tali putus terbakar.
“Setelah itu, mereka menutupi kayu tersebut dengan rumput dan meniup sampai terjadi kobaran api yang besar,” kata Didimus.
Saya kenal Didimus Wandik, pada tahun 1992, saat Jambore Pramuka di Papua, Didimus Wandik masih pemuda adalah siswa SMA, kami masih berkomunikasi akrab sampai sekarang seperti keluarga.
***
Bionarasi
Dr. Hendry Jurnawan, CLA., Anggota Pramuka Kalimantan Barat, dosen dan pengacara.