| Resensator: Handoko Widagdo
Judul: Kuli
Judul Asli: Koeli
Penulis: Madelon Hermine Szekely-Luluofs
Tahun Terbit: 1985
Penerbit: Grafiti Press
Tebal: 115
Pada tulisan saya sebelumnya “Berpacu Nasip Di Kebun Karet” (http://detikborneo.com/index.php/2021/08/13/berpacu-nasib-di-kebun-karet/), saya sudah singgung sedikit tentang julukan Multatuli perempuan yang disematkan kepada Madelon Hermine. Kisah Kuli dalam novel karya Madelon Hermine Szekely-Luluofs ini tak kalah bagus dari Max Havelar karangan Multatuli. Kuli menggambarkan betapa kejamnya kolonialisme. Kolonialisme yang bekerja sama dengan para pribumi untuk menghisap kaumnya sendiri. Jadi layaklah kalau Madelon Hermine dijuluki sebagai Multatuli Perempuan.
Bagaimana jalinan kisah jalinan Madelon Hermine yang berjudul “Kuli” ini?
Apa yang dimimpikan oleh para lelaki? Harta, wanita dan kesenangan. Tawaran mudahnya mendapat emas, istri cantik – apalagi kalau bisa 3 atau 4 sekaligus, dan berjudi sepuasnya tanpa dilarang sungguh menggiurkan bagi Ruki, Karimun dan Sidin. Rayuan calo kuli kontrak dari Betawi itu telah membujuk ketiga pemuda dari desa nan permai di Priangan untuk berangkat ke Tanah Deli sebagai kuli. Ketiga pemuda yang tak pernah seumur-umur meninggalkan desa itu harus mengalami keterkejutan peradaban yang ada di luar desanya. Kereta api, rumah-rumah loji dan kapal laut membuatnya kagum tetapi sekaligus takut. Mereka tidak tahu apa yang akan dikerjakan di pulau seberang. Yang terbayang adalah emas, istri cantik dan bermain judi sesukanya tanpa dilarang.
Baca juga: Berpacu Nasib di Kebun Karet
Madelon Hermine menggambarkan betapa kejamnya pembangunan perkebunan era kolonial. Kuli kontrak diperlakukan layaknya budak. Ya, perkebunan Deli adalah praktik perbudakan yang sistematis. Perekrutan kuli kontrak yang penuh tipu daya, suasana kerja yang penuh kekejaman dan pelacuran serta perjudian untuk mempertahankan supaya para kuli tidak pulang ke Jawa.
Ruki, tokoh utama dalam novel ini digambarkan sebagai seorang pemuda lugu yang harus kehilangan harga dirinya. Dia gagal melindungi Karminah teman seperjalanannya. Karminah yang didaku sebagai istrinya tetap saja diberikan kepada Marto kuli yang sudah lama menunggu giliran untuk mendapatkan istri, karena jumlah perempuan dalam kebun begitu sedikit. Harga dirinya semakin hilang saat dia dianggap lamban dalam bekerja dan menerima pukulan-pukulan tanpa bisa membalasnya. Akhirnya Ruki menjadi orang kontrak yang harus bekerja sesuai dengan perintah-perintah para mandor.
Kisah para kuli yang lain tak lebih baik daripada Ruki. Kromorejo harus kehilangan satu kakinya karena diamputasi. Kromorejo takut kepada dokter sehingga menyembunyikan luka di kakinya yang berakibat infeksi parah. Dokter terpaksa mengamputasinya. Meski Kromorejo dibebaskan dari kontraknya, tetapi dia tidak memilih untuk pulang ke Jawa karena malu. Sedangkan Sentono akhirnya memilih pulang ke Jawa dalam keadaan miskin. Sentono terlibat pembunuhan seorang Cina yang menggunakan jasa pelacur bernama Saimah. Meski dia terbebas dari jerat hukum namun akhirnya Sentono memilih pulang. Nur, seorang kuli dari Madura harus digantung karena difitnah oleh Mandor dan teman-temannya. Dia dipersalahkan membunuh Cina yang menggunakan jasa Saimah.
Karimah yang awalnya sudah diserahkan kepada Marto harus diambil oleh Donk sebagai nyai. Karimah memiliki dua anak perempuan dengan Donk, tetapi keduanya dibawa pulang ke negeri Belanda. Sementara Karminah menikah lagi dengan penjahit dan menjadi pedagang buah.
Baca juga: Asmaraloka – Kodrat Manusia untuk Terus Berperang
Saimah yang berwajah cantik memilih untuk menjadi pelacur supaya bisa mengumpulkan emas. Meski dia berstatus sebagai istri Parlan, tetapi dia menjajakan diri untuk mengumpulkan uang. Tak segan-segan dia melacurkan diri kepada para Cina yang makan babi. Sebab Cina membayar dia lebih mahal daripada para kuli yang sering kali menipunya. Hidup Saimah berakhir tragis karena mati saat melahirkan bayi yang bermata sipit. Dia mati karena dukun bayi memijit perutnya untuk mengeluarkan bayinya.
Kisah sedih para kuli ini ditutup dengan kisah Ruki yang akhirnya sadar dan rajin menabung. Ruki menikahi Wirya bekas istri Sentono yang pulang ke Jawa. Mereka berdua rajin menabung supaya bisa pulang ke Jawa dalam keadaan kaya. Setelah satu siklus kontrak mereka berdua sudah memiliki tabungan yang banyak. Pakaian baru, uang dan emas sudah disiapkan. Besok mereka akan balik ke Jawa. Namun malam itu, hanya karena Ruki menonton judi dan tak tahan untuk mencicipinya, akhirnya semua tabungan habis dipakai judi dalam semalam. Esoknya Ruki dan Wiryo datang ke mandor untuk meneken kontrak baru sebagai kuli kontrak.
Bionarasi
Handoko Widagdo dilahirkan di Grobogan pada 25 Maret 1965. Pemulung dan pembaca buku. Menulis lebih dari 600 resensi buku. Sebagian resensi terbit di Harian Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Kompas.id, Koran Sindo, Komunitas Bambu; Menulis feature di The Jakarta Post dan Majalah Jade.
Menulis buku:
1. Penggerek Batang Padi
2. Anak Cino
3. Kalimantan Utara di Mata Saya.
Menulis buku bersama:
1. Indonesia Amnesia
2. #KamiJokowi
3. Aji “Chen” Bromokusumo – Politisi Tionghoa yang Menerobos Tradisi.