Jakarta, detikborneo.com – Sembahyang Rampas yang biasanya ada di tanah Borneo bagian Barat untuk keturunan Tionghoa ternyata ada juga di Jakarta Barat. Acara ini wajib dilakukan bulan 7 tanggal 15 Imlek. Itu artinya jatuh pada hari Rabu, (30/8 2023).
Acara ini dikawal oleh tiga orang Tatung. Dua laki-laki yakni Pao Pao dan Thomas, satu perempuan yakni Lia. Atribut mereka memakai atribut Tionghoa dan juga atribut Dayak. Kebetulan vihara ini dirintis dan dipimpin oleh Shu Lin( Jonni) asal Kalimantan Barat yang sudah puluhan Tahun mukim di Kapuk. Vihara ini bagian dari vihara yang ada di Sambas yakni Vihara Sam Bong Dja. Mana lebih dulu ada? Tentu Vihara Lim Pak Kung yang ada di kebun Jahe-Kapuk- Cengkareng -Jakarta Barat.
Perintis sekaligus pemimpin vihara Lim Pak Kung kakeknya asli Dayak dari daerah Putusibau. Neneknya asli Tionghoa. Upara rampas hanya ada di vihara Lim Pak Kung. Tidak ada di vihara-vihara yang ada di Jakarta dan sekitarnya. Vihara ini juga unik karena ada perisai Dayak, baju adat Dayak, pantak, tangkitn dan mandau.
Persembahan yang di suguhkan dalam upacara ini kurang lebih sama dengan persembahan sembahyang kubur. Persembahan rampas diperuntukkan bagi arwah yang tidak disembahyangi oleh pihak keluarga. Arwah yang demikian menurut mereka bersifat gentayangan dan wajib diperhatikan.
Dengan sembahyang rampas roh-roh tadi tidak akan mengganggu manusia yang masih hidup. Dengan sembahyang rampas menjadikan roh-roh gentayangan menjadi tenang di alam lain. Demikian pernyataan yang disampaikan oleh Tomy dan Williem saat dimintai keterangannya.
Upacara ini biasanya dilakukan setahun sekali. Pembukaan diawali dengan pemanggilan leluhur ke Tatungnya. Setelah itu tiga tatung menuju tempat sesaji. Kemudian jalan dibuka untuk para roh gentayangan. Roh-roh itu dipersilahkan masuk ke halaman vihara untuk menikmati persembahan yang sudah tersedia.
Para Tatung kembali masuk ke dalam vihara. Dalam beberapa waktu, mereka kembali sadar. Namun saat upacara mempersilahkan roh masuk untuk menikmati persembahan ada satu orang juga dimasuki roh leluhur.
Kemudian Suhu Chit Ciong (tujuh jenderal) memimpin upacara lanjutan. Sekian lama menunggu roh-roh tadi diminta untuk kembali dengan meninggalkan vihara. Barulah setiap orang yang ada di vihara diijinkan memperebutkan persembahan yang ada. Sebelum memperebutkan persembahan maka babi rebus yang sudah matang dipindahkan (kepala, kaki, ekor, samcen). Kemudian semua yang ada seperti ayam rebus , tahu, telur, buah-buahan, minuman dan snack diperebutkan warga untuk dibawa pulang.
Kenapa babi yang sudah matang dipindahkan ketempat lain? Bukankah di Kalimantan Barat upacara yang demikian justru diperebutkan sama seperti persembahan yang lain? Tujuannya idak lain untuk menghargai agama lainnya yang menjadi pengunjung. Ini bentuk menjaga kebersamaan. Menghargai warga lain yang mengharamkan babi. Toleransi dikedepankan di vihara ini. Wajar mereka mendapatkan sertifikat karena toleransinya.
Sementara menunggu pemulangan roh-roh gentayangan usai menikmati persembahan, Suhu mengajak dialog tamu yang datang. Setelah dinyatakan cukup waktunya, maka perebutan -perampasan persembahan oleh pengunjung pun dipersilahkan. Saat berebut persembahan musik pengiring buat dewa dengan alat musik piringan dan beduk dimainkan dengan penuh semangat. Upacara pun berakhir dengan tiada satupun persembahan yang diperebutkan tersisa. Pengalaman berkunjung ke Vihara ini untuk bersilahturahmi antara anggota TBBR DKI Jakarta dengan pengurus Vihara. Membangun relasi jauh lebih baik daripada menutup diri. (Paran/Rd)