| Penulis: Cintya Anindya Jatanti Puteri
Isu mengenai perubahan Undang Undang No 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sudah merebak di antara masyarakat. Adanya RUU KUP yang akan merombak beberapa Undang Undang sebelumnya sudah menjadi perbincangan dari berbagai kalangan dalam masyarakat. Pasalnya, RUU KUP yang disebut sebagai “pembangkit perekonomian Indonesia” justru terlihat seperti akan memiskinkan rakyat Indonesia. Bagaimana tidak, tersebarnya draft RUU KUP yang berisikan perubahan-perubahan Undang Undang mengenai perpajakan di Indonesia terlihat seakan memeras rakyat di kala pandemi seperti ini. Kenaikan PPN, pengenaan pajak pada barang-barang yang sebelumnya tidak dikenakan pajak, bukankah sudah menjadi bukti pemerasan rakyat?
Dalam draft tersebut ditemukan pada Pasal 7A ayat 1 tentang adanya kenaikan PPN yang semula 10% menjadi 12%. Hal ini dapat menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat. Dengan naiknya PPN menjadi 12% tentunya akan berdampak pada harga barang yang beredar. Walau disebutkan pada Pasal 7A ayat 2 dan 3 bahwa pengenaan PPN akan disesuaikan dengan jenis barang atau jasa dengan tarif terendah PPN adalah 5% dan tertinggi 15%, hal ini tetap akan menjadi hal yang menyulitkan rakyat. Meski pemerintah tidak serta-merta memukul rata kenaikan PPN untuk barang atau jasa, namun kenaikan harga akan tetap terjadi. Merubah PPN artinya merubah harga pasar. Perubahan harga pasar akan merubah perilaku pembeli dan penjual pula.
Selain kenaikan harga yang membuat masyarakat tercekik, UMKM juga akan sulit berkembang. Dengan naiknya PPN, UMKM akan kesulitan mendapatkan bahan baku yang sesuai untuk produknya. Selain itu, konsumen juga akan berkurang akibat kenaikan harga barang atau jasa yang dihasilkan. Hal ini bisa saja menyebabkan banyak UMKM yang mengalami penurunan omzet bahkan gulung tikar akibat kerugian yang dialami. Lalu, bagaimana perekonomian Indonesia bisa berkembang atau setidaknya kembali seperti semula?
Setelah naiknya PPN, isu mengenai biaya sekolah dan sembako yang dikenai pajak juga tersebar luas di kalangan masyarakat. Tentang biaya sekolah yang akan dikenai pajak, hal ini bukanlah kebijakan yang tepat diterapkan di masa pandemi seperti ini. Tingkat minat pelajar dalam bersekolah sudah menurun, dengan adanya kenaikan biaya sekolah justru akan membuat banyak dari pelajar cenderung memilih berhenti sekolah. Bukan hanya karena minat belajar yang turun akibat sistem belajar daring tetapi juga karena keadaan ekonomi orangtuanya yang tidak memadai terutama di saat seperti ini. Pembebasan biaya sekolah yang justru dibutuhkan oleh masyarakat. Jika peraturan ini direalisasikan sudah dipastikan jumlah anak yang berhenti sekolah akan meningkat dengan drastis. Bukan hanya karena biaya sekolah yang mahal, kebutuhan sekolah daring seperti kuota, perangkat, dan lainnya juga turut memberatkan siswa dan orangtuanya. Jadi, apakah kebijakan mengenai pengenaan pajak pada biaya sekolah sudah tepat?
Sembako juga turut terkena pajak penambahan nilai. Apa pemerintah sudah gila? Pengenaan pajak pada sembako tentunya akan menyengsarakan rakyat. Harga sembako saat ini saja sudah membuat sebagian masyarakat kesulitan dalam membeli, bagaimana jika dinaikkan nanti? Pemerintah menyatakan bahwa pengenaan pajak sembako hanya untuk produk-produk kelas menengah ke atas. Namun, dengan begitu bukankah akan terjadi ketidakadilan? Jika produk-produk kelas menengah ke atas dinaikkan, pembeli kelas menengah ke atas justru akan memburu produk menengah ke bawah yang memiliki harga yang lebih murah. Hal ini dapat mengakibatkan permasalahan ekonomi pasar akibat jumlah pembeli tidak sama dengan jumlah produk yang ada. Bukan membantu masyarakat kelas bawah, kebijakan ini justru akan menyulitkan mereka dalam mendapatkan sembako untuk menghidupi diri. Beberapa sembako yang diisukan akan dikenai pajak yaitu beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah, ubi, bumbu, dan gula. Jika kebutuhan pokok masyarakat saja dikenai pajak lalu bagaimana bisa masyarakat Indonesia bertahan hidup?
Kejelasan dari isu RUU KUP ini belum menemukan titik terang. DPR RI berencana akan membahas mengenai RUU KUP dalam masa sidang 2021 sampai dengan 2022, dengan hasilnya yang akan direalisasikan dan dijadikan sebagai program kerja. Adapun 7 fokus pembahasan mengenai Rancangan Undang Undang di masa sidang 2021 sampai dengan 2022, yaitu:
- Rancangan Undang Undang tentang Perlindungan Data Pribadi
- Rancangan Undang Undang tentang Penanggulangan Bencana
- Rancangan Undang Undang tentang Perubahan Kelima atas Undang Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
- Rancangan Undang Undang tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
- Rancangan Undang Undang tentang Jalan
- Rancangan Undang Undang tentang Badan Usaha Milik Desa
- Rancangan Undang Undang tentang Sistem Keolahragaan Nasional
Namun, sampai saat ini RUU KUP belum juga dibahas secara mendalam dan terperinci. DPR RI yang dihujani pertanyaan mengenai isu-isu tentang RUU KUP hanya dapat menjawab bahwa draft RUU KUP belum diserahkan dan dibacakan dalam sidang paripurna DPR RI, ungkap Sri Mulyani. Sri Mulyani juga menambahkan bahwa adanya kebocoran draft RUU KUP bahkan sebelum anggota DPR RI menerima draft tersebut.
Terlepas dari kebocoran draft yang terjadi, pemerintah seharusnya dapat mengambil sisi positifnya karena pemerintah justru dapat mendengar suara rakyat melalui keluhan-keluhan akan isu tersebut dan menanggapinya dengan baik bukan justru menghindari dan menjawab seada-adanya. Suara-suara rakyat seharusnya dapat dijadikan masukkan oleh pemerintah dalam membuat kebijakan yang lebih tepat sasaran. Memungut pajak pada rakyat dari segala sisi rasanya bukan solusi yang tepat di kala pandemi ini. Pemerintah seharusnya bisa memahami apa yang dibutuhkan oleh masyarakat saat ini.
Sepantasnya pemerintah justru lebih meringankan rakyat dengan memberikan bantuan sosial yang tepat sasaran. Pemerintah seharusnya bisa lebih bijak dalam membuat peraturan agar lebih tepat guna terkhusus pada masa pandemi seperti ini. Selain itu, melirik kasus beberapa waktu lalu tentang korupsi dana bantuan sosial. Pemerintah seharusnya bisa lebih tegas dalam menindak para pemakan uang rakyat bukan justru sebaliknya. Hukum di Indonesia seharusnya bisa sama rata dan adil sesuai dengan bunyi Pancasila sila ke 5, bukan tajam ke bawah tumpul ke atas.
Berdasarkan data dari Komisi Pemberantasan Korupsi, ditemukan bahwa kekayaan pejabat-pejabat pemerintah naik sebanyak 70,4%. Persentasi yang tinggi terutama di masa pandemi seperti ini. Di saat semua masyarakat terdampak dan tidak sedikit rakyat Indonesia yang mengalami penurunan kondisi ekonomi, terjadi hal yang berbanding terbalik pada pejabat-pejabat pemerintah. Di saat rakyat menangisi beras yang habis, pejabat negara justru tertawa di tengah kekayaan. Terdengar seperti sebuah lelucon belaka, namun ini kenyataannya.
Adanya RUU KUP bukan saja menyulitkan masyarakat. RUU KUP juga memudahkan mereka, para tikus-tikus, memakan uang rakyat kembali. Perlu ada tindakan yang tegas dari pemerintah, baik mengenai RUU KUP maupun kebijakan untuk para koruptor. Demi bangkitnya kembali perekonomian Indonesia dan juga meningkatnya kesejahteraan masyarakat.
Kembali saya nyatakan, bahwa dengan beredarnya isu-isu tersebut, seharusnya pemerintah lebih peka dengan kebutuhan masyarakat. Kebijakan seperti apa yang tepat untuk masyarakat saat ini juga perlu dipertimbangkan. Dengan adanya isu-isu tersebut, pemerintah seharusnya bisa berkaca dan memperbaiki diri kembali dan juga tidak memberikan kebijakan yang salah seperti isu-isu RUU KUP. Dengan pemerintahan yang baik dan kebijakan yang tepat, dapat dipastikan perekonomian Indonesia dapat kembali stabil atau bahkan menjadi lebih baik lagi.
Sumber gambar: pinterest.com
***
Cintya Anindya Jatanti Puteri, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Program Studi Akuntansi, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta