27.5 C
Singkawang
More
    BerandaLumbungThai Phui Ji, Rujak Singkawang Sing Ada Lawan

    Thai Phui Ji, Rujak Singkawang Sing Ada Lawan

    | Penulis : R. Masri Sareb Putra

    Wisata kuliner di Singkawang, Kalbar, belum sah dan tidak lengkap jika belum menyantap rujak Thai Phui Ji, alias tante gendut. “Tak asi,” kata orang setempat.

    Singkawang berjuluk “Kota Amoi” benar adanya. Sebab 45%, bahkan lebih, warganya keturunan. Di tiap pojok jalan, bahkan di berbagai tikungan dan kaki bukit, dapat kita temui warung  atau kedai makan. Bermacam ragam. Utamanya masakan Hakka. Namun, banyak juga masakan Nusantara. Bahkan, Soto Ayam Lamongan pun bisa kita temukan di sana.

    Namun, orang tidak akan mencari kuliner yang lazim. Mereka pasti mencari yang eksotik. Apakah itu?

    Wisata kuliner di Singkawang, Kalbar, kata orang Singkawang sendiri, tidak sah jika belum mencicipi rujak thai phui ji alias tante gendut. Dalam dialek Cina setempat (Hakka) ibu gendut seperti judul tulisan ini.

    Dijumpai pula di Singkawang kuil-kuil yang dalam istilah setempat disebut tepekong.

    Maka juga, selain Kota Amoi, Singkawang dijuluki Kota Seribu Kuil.

    Menjejak kaki di kota Amoi, Singkawang. Tanpa pernah mencecap sedapnya rujak Thai Phui Ji, ada yang kurang. “Tak asi,” kata orang setempat.

    Masuk gang, rujak ini memang dimiliki dan dibikin tante gendut. Rp12.000,00 per porsi, boleh miilih: mangga atau buah campur, dengan aneka bumbu: ebi, kacang, pedas atau sedang. Selera masing-masing. Tinggal order sesuai kehendak.

    Dijumpai pula di Singkawang kuil-kuil yang dalam istilah setempat disebut tepekong. Maka juga, selain Kota Amoi, Singkawang dijuluki Kota Seribu Kuil.

    Sudah berabad-abad lamanya kota pecinan ini menjadi tempat tinggal dan berusaha para imigran dari Yunan Selatan. Di zaman baheula, tatkala penerbangan dan pelayaran laut belum secanggih saat ini, banyak di antaranya mendarat di Singkawang lewat perahu setelah bertarung dengan gelombang laut yang ganas.

    Image In38 1
    Saya bersama si empunya rujak spesial.

    Sekian lama hidup dan tinggal di San Khew Jong (Singkawang dalam bahasa Hakka), orang-orang Hakka banyak yang tak tahu lagi asal usul moyangnya. Rata-rata merasa Singkawang tanah airnya. Maka tak heran, kehidupan di Singkawang adalah wajah sebuah Chinese Town dengan warna lokal.

    Menjejak kaki di kota Amoi, Singkawang. Tanpa pernah mencecap sedapnya rujak Thai Phui Ji, ada yang kurang. “Tak asi,” kata orang setempat.

    Wisata kuliner dan budaya di Singkawang bukan hanya karena menuansakan keindahan serta sisi menampilkan eksotiknya. Namun, terlebih-lebih, karena berjumpa dengan manusia penghuni kotanya, yang juga unik.

    Siang itu cuaca cerah. Matahari memantulkan cahaya merah, khas bumi Khatulistiwa. Kulit bisa gosong jika terkena pancaran sinarnya.
    “Pake sun block dong, koh…” kata salah seorang amoi, yang mendampingi saya law-law (jalan-jalan) menikmati pesona Singkawang. Dan kami pun berdarma-wisata. Keliling kota. Nyari kuliner. Namun, bagi saya, itu sebuah perjalanan riset.

    Kemudian, yang saya tak pernah lupa. Sehabis menikmati rujak Thai Phui Ji, kami makan durian. Sangat enak, sebab jatuh dari pohon. Duren di Singawang datangnya dari Bagak, Nyarumkop, dan Bengkayang. Duh lewatnya.

    Durian pun dibelah. Masing-masing kami makan dan menikmatinya. Kuning warna dagingnya. Lagi manis dan sangat prisa.

    Para amoi berjongkok. Saya pun turut, sembari mengamati. Sangat cekatan mereka makan durian. Biji-bijinya masuk mulut. Lups, lups, lup!
    “Dasar Amoi Singkawang, gak tahu malu!’ kata saya bercanda. Mereka tertawa.
    “Cantik-cantik kok suka makan duren!”
    “Biarin! Enak sih!’ kata mereka, tak peduli.

    Wisata (kuliner) dan budaya di Singkawang bukan hanya karena menuansakan keindahan serta eksotik. Namun, terlebih-lebih karena berjumpa dengan manusia penghuni kotanya, yang juga unik. Saya telah riset. Dan dala proses menulis buku: Dayak – Cina Kalimantan Barat.

    Saya amat sangat terkesan. Tak terlupa!

    ***

    Bionarasi

    WhatsApp Image 2021 08 06 at 10.27.34

    R. Masri Sareb Putra, M.A., dilahirkan di Sanggau, Kalimantan Barat pada 23 Januari 1962. Penulis Senior. Direktur penerbit Lembaga Literasi Dayak (LLD). Pernah bekerja sebagai managing editor dan produksi PT Indeks, Kelompok Gramedia.

    Dikenal sebagai etnolog, akademisi, dan penulis yang menerbitkan 109 buku ber-ISBN dan mempublikasikan lebih 4.000 artikel dimuat media nasional dan internasional.

    Sejak April 2021, Masri mendarmabaktikan diri menjadi Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (PPM), Institut Teknologi Keling Kumang.

    Latest articles

    Explore more

    Arsip berita