Via Dolorosa: Oleh Bambang Bider
Dia hidup hingga 30 tahun dan masih belia
hanya untuk menyongsong kematian-Nya
bukan kematian biasa
namun kematian yang ter-amat keji dan nista
pergumulan-Nya di taman Getsamani meminta
agar cawan sengsara diambil dari-Nya
sebagai manusia Ia hampir menyerah
namun dalam derita-Nya Ia harus purna
Ia hanya menuruti kehendak Bapa-Nya
Dia yang sukses menempuh via dolorosa
bagi setiap manusia yang tak dikenal-Nya
bagi mereka yang memperolok-Nya
bagi prajurit brutal yang merajam-Nya
bagi yang meludahi dan mengencingi-Nya
bagi yang telah memberi air cuka sebagai minuman-Nya
bagi yang memaku kedua lengan dan kaki-Nya
hingga kematian-Nya
dipaku di kayu salib, bayangkan derita sengsaranya
dicambuk hingga merobek kulit, bayangkan sakitnya
dicemoh dan dicaci maki tak berperi bayangkan hinanya
diperolok dengan mahkota duri yang diterima-Nya dengan rela
memanggul salib seberat 50 kg sebagai singgasana-Nya
bagi manusia biasa takan bisa menjalaninya
hingga lambung-Nya tertembus tombak longinus
air dan darah mengucur dari lambung-Nya
para prajurit dan pembenci menunggu umpatannya
mereka menanti makiannya
mereka menunggu kutukan-Nya
mereka menunggu kata-kata kasar dari mulut-Nya
mereka menunggu
jika Ia Tuhan maka dengan mudah melepaskan diri dari sengsara-Nya
karena bagi mereka Dia bukan siapa-siapa
namun Ia tetap berseru meminta, “Bapa ampuni mereka!”
tak ada kata tak senonoh meluncur dari mulutn-Nya
akhirnya mereka terkesima tak percaya
derita manusia-Nya tak pernah mematahkan prinsip-Nya
walaupun hidupnya ibarat tragedi di mata manusia
hampir jam tiga setelah para prajurit mengundi pakaian-Nya
mereka masih bertanya-tanya
setelah demikian hebat deraan fisik dan penyaliban yang diterima-Nya
Ia masih bertahan siapakah Dia?
tepat jam tiga langit menghitam
kegelapan melahap Golgota dan sekitarnya
gemuruh halilintar bersahut-sahutan
bumi berguncang tabir bait Allah terbelah dua
Ia sang Anak Manusia berseru,
“Eloi, Eloi, lama sabakhtani?”,
Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”
Ia dahaga meregang nyawa
setelah minum anggur cuka yang diberikan pada-Nya
“Selesai lah sudah!” Seru-Nya
menyerahkan diri di hadirat Bapa-Nya
lalu Ia menghembuskan nafas terakhir
wafat lah Dia sebagai manusia
namun pada hari ketiga maut tak mampu mengalahkan-Nya
Ia bangkit Mulia.
Penulis: Bambang Bider