25.7 C
Singkawang
More
    BerandaUncategorizedDesakralisasi Kampus

    Desakralisasi Kampus

    Picture1

    | Penulis: Hertanto

    Mencoba menahan untuk tidak tergoda menanggapi tulisan di media online kompas tertanggal 10 Februari 2023, namun ternyata godaan itu begitu kuat. “Aku lemah dalam hal ini yah Tuhan…!” begitu teriakku hari ini. Akhirnya kubuka laptop dan segera menuangkan unek-unek atas tulisan yang menggoda itu. “Kalian hebat!” (baca: berani) Bisikku pelan kepada Insan Alfajri, Dhanang David Aritonang, Irene Sarwindaningrum, Andy Riza Hidayat selaku penulis Liputan Investigasi (1) dengan judul CALON GURU BESAR TERLIBAT PERJOKIAN KARYA ILMIAH.

    Siapa yang tidak ingin memakai baju besar dengan topi bersegi lima di atas kepala? Sebuah busana yang diidam-idamkan banyak orang. Betapa tidak? Busana kebanggaan saat para sarjana yang hendak melangsungkan acara wisuda pertanda selesainya masa studi dalam jenjang akademik dengan senyum yang sumringah menandakan kemenangannya atas perjuangannya selama ini. Di samping baris para sarjana, ada juga para master dan para doktor yang sama-sama akan mengikuti acara wisuda. Senyum mereka sama. Yang membedakan hanya warna baju, topi yang mereka gunakan dan wajah mereka. Umumnya para master, terlebih doktor memiliki wajah yang lebih tua dibanding para sarjana. Ini umumnya loh! Karena tidak dapat dipungkiri ada juga mereka yang master maupun doktor wajahnya tidak lebih tua dari sarjana. Ah sudahlah… kita tidak perlu memperdebatkan wajah tua mereka. Jangan-jangan wajah kita justru yang kelihatan lebih tua dari mereka karena tekanan hidup sekalipun usia kita masih muda. Yang penting semua yang ikut wisuda saat itu hadir dengan perasaan senang.

    Seketika hormon endorfin menguasai atmosfir ruangan acara wisuda. Wajar saja, karena momentum ini sangat ditunggu-tunggu mahasiswa tingkat akhir yang tentunya tidak mudah mencapai tahapan ini. Wisuda menjadi proses akhir kegiatan akademik dan menjadi pengukuhan gelar akademis. Satu lagi! Bisa dijadikan alat bukti kebanggaan bagi orangtua, calon mertua, pacar, mantan pacar, pasangan hidup (dan anak), serta kolega-kolega yang hadir.

    Di depan nampak pula sekelompok orang yang berjajar dengan pakaian kebesarannya. Pakaian yang mereka gunakan mirip-mirip dengan para wisudawan/wisudawati, hanya perlengkapan ditambahkan kalung samir rektor atau kalung yudisium yang umumnya dipakai oleh para dosen dan guru besar. Rangkaian acara wisuda hari itu berjalan dengan baik, khidmat, dan semua happy. Panitia pun menebar senyum, pertanda pelaksanaan acara wisuda sesuai rencana. Akhirnya…. semua kembali ke rumah masing-masing dengan harapan penuh karena status sosial sudah berubah. Tidak sedikit dari mereka yang meninggalkan sampah dan sekarang petugas kebersihan memulai pekerjaannya kembali.

    Institusi Pendidikan yang diharapkan menjadi wadah yang jujur, bersih, adil serta mencetak generasi bangsa yang mampu berkarya, bukan hanya mengejar gelar dan ijazah. Mendengar kata pendidikan, memori kita seolah-olah dipaksa untuk melihat ke belakang. Artinya, profesi apapun tidak terlepas dari buah pendidikan. Ia adalah taman belajar dalam sebuah konsep learning society, yaitu bagaimana menjadi (how to be), bagaimana melakukan (how to do) dan bagaimana hidup bersama (how to live together) oleh karena itulah Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa yang berarti tempat siswa bermain dan belajar.

    Pentingnya penanaman konsep ini hingga di-institusionalisasikan atau di-lembagakan. Namun bagaimana mereka yang dulunya tidak belajar di institusi namun mereka berhasil. Sebut saja salah satu idola saya, Ibu Susi Pudjiastuti. Mantan menteri kelautan dan perikanan dengan meme ‘tenggelamkan’ ini ternyata tidak pernah mengenyam sekolah tinggi. Ia terlahir bukan dari keluarga kaya. Dengan kerja kerasnya ia mengumpulkan modal tujuh ratus lima puluh ribu rupiah untuk menjadi pengepul ikan pada tahun 1980 an hingga akhirnya berhasil mendirikan pabrik pengolahan hasil laut di tahun 1996. Belum lagi ada Bapak Adam Malik. Ia merupakan mantan menteri luar negeri pertama Indonesia yang tidak memiliki gelar sarjana. Bahkan ia hanya lulusan sekolah dasar, namun perannya sangat besar bagi bangsa ini. Pada tahun 1930 an, ia mendirikan kantor berita Antara sebagai sarana penyebaran informasi kepada masyarakat Indonesia.

    Jadi mana yang lebih penting? Belajar dengan adanya pengakuan di atas kertas dalam bentuk ijazah atau tanpa adanya itu namun diakui di atas masyarakat? Bukankah dua-duanya sama penting? Pilihan pertama itu adalah sebagai standarisasi yang terorganisir dalam perangkat pendidikan yang lebih terstruktur dan teratur, sedangkan pilihan kedua itu adalah uji coba pilihan yang pertama. Jika keduanya teruji validitasnya, maka komplitlah hasil belajarnya.

    Namun bagaimana bila wadah tempat belajar itu telah ternodai? Ternyata perangkat pendidikan itu mulai (atau baru ketahuan) tercoreng. Pelaku pembusukan kesucian kampus dilakukan oleh orang-orang pintar yang bergelar sarjana, master bahkan doktor dari berbagai lulusan universitas. Hilangnya sakralitas kampus membuat masyarakat bertanya-tanya. Bila dulu guru (tenaga pendidik) kencing berdiri dan murid kencing berlari, bagaimana bila kini gurunya (tenaga pendidiknya) kencing sembarangan? Bagaimana cara mengatasinya? Apakah dikebiri jalan satu-satunya? Wallahualam Bissawab!

    ***

    (foto: dokpri)

    Foto tidak ada kaitannya dengan tulisan namun sebuah bentuk apresiasi kepada STT Lintas Budaya yang memberi kesempatan bagi penulis untuk berekspresi pertama kalinya dalam dunia pendidikan.

    Bionarasi

    HERTANTO Hertanto Ruhiman

    Hertanto, S.Th., MACM, M.I.Kom., M.Pd.

    Penulis merupakan Pendiri Ruhiman Ministry, sebuah lembaga yang bergerak di bidang Pewartaan dan Kegiatan Sosial.

    Latest articles

    Explore more

    Arsip berita