| Penulis: Wahyunita
Salah satu Ritual adat Suku Dayak Maanyan yang terpelihara turun temurun dan rutin dilaksanakan dari tahun ke tahun sampai saat ini adalah “Ritual Adat Ipaked”. Ritual ini merupakan korban sajian yang dilaksanakan setiap tahun antara bulan Mei atau Juni. Pelaksanaannya didasarkan pada saat semua tuaian panen biasanya padi telah selesai dituai dan sudah dimasukkan dalam tempat penyimpanan panen yang dikenal dengan (karangking/lumbung).
Ritual ini berupa korban sajian dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam adat. Biasanya korban ini dijumpai tergantung di setiap pintu gerbang dari suatu kampong atau di pinggir jalan masuk suatu kampung. Korban ini adalah wujud ucapan syukur atas keberhasilan panen, mulai dari menabur benih sampai hasil panen dapat dimasukkan ke tempat penyimpanan.
Diyakini oleh masyarakat Dayak Maanyan yang masih memegang kepercayaan nenek moyang yang dikenal dengan “Kaharingan” bahwa dengan persembahan Ini, kiranya Tuhan berkenan melindungi/membentengi kampung dari segala hal-hal buruk pada waktu-waktu ke depan.
Ritual ini sering disebut sebagai “penolak bala”. Di mana ketika ada serangan dari luar yang hendak masuk ke kampung akan melihat benteng yang kuat. Sajian tersebut menjadi tandanya. Musuh tidak akan mampu menembus masuk kampung.
Pada saat ritual Ipaked dilaksanakan, seluruh kegiatan di luar rumah dalam kampung dihentikan selama satu hari (pagi-malam). Suasana kampung terasa sangat sepi. Keheningan mewarnai seluruh kampung. Sehingga ritual ini juga disebut dengan hari nyepi.
Diwajibkan kepada seluruh warga masyarakat. Siapa pun tak diperbolehkan mengerjakan pekerjaan di luar rumah. Bahkan menyapu halaman, menyentuh atau mematahkan ranting pohon atau memetik sayur/buah, menyadap karet tak diijinkan.
Jika diketemukan ada orang yang melanggar maka harus dikenakan denda. Denda dijatuhkan melalui sesuai ketentuan adat yang diputuskan dalam rapat bersama penghulu. Denda dapat berupa uang. Hal ini menunjukkan bahwa ritual ini sangat penting dan sangat sakral. Ritual yang menyangkut keselamatan, keamanan kampung serta kesehatan penduduk kampung ke depan.
Adapun pelaksana ritual Ipaked adalah pemimpin agama yang dikenal dengan “Belian”. Berjumlah tiga orang. Mereka adalah orang khusus yang menguasai aturan-aturan adat maupun secara agama kepercayaan “Kaharingan”.
Dalam Sajian yang dipersembahkan, terdiri dari berbagai macam kue/makanan tertentu dan juga dengan alat-alat tertentu yang dari tahun ke tahun tetap sama karena semuanya mengandung makna tertentu.
Kaharingan sebagai agama kepercayaan suku Dayak Maayan sejak nenek moyang mempunyai mengakar kuat. Tersirat dalam kata haring (hidup). [1] Menurut Hermogenes Ugang, kata haring mempunyai arti yang ada dari dirinya sendiri, tidak dilaksanakan atau diolah oleh pihak lain. [1]
Kata “Haring” kemudian mendapat penambahan awalan “Ka dan akhiran an” sehingga menjadi “Kaharingan” yang berarti kehidupan. Apabila kata Kaharingan ini dinilai secara teologis maka dapat ditarik makna sebagai sebuah kekuasaan yang memberi kehidupan/sumber kehidupan atau kekuatan hidup. [3]
Misi utama Kaharingan adalah mengajak manusia menuju jalan yang benar dengan berbakti dan mengagungkan “Hiyang P“umung Jaya Pikulawi atau Sang pencipta” dalam setiap sikap dan perbuatan.
Melalui ritual” Ipaked” tergambar bahwa sejak nenek moyang suku Dayak Maanyan yang memegang agama kepercayaan “Kaharingan”, sudah menyadari akan adanya Allah Sang Pencipta sebagai sumber kekuatan dan kehidupan yang menjadi tempat perlindungan yang aman.
Ritual Ipaked adalah bentuk daya upaya untuk mempersembahkan korban syukur sekaligus meminta perlindungan kepada oknum supranatural yang menunjukkan kesadaran bahwa segala yang ada dalam alam semesta termasuk manusia itu sendiri memiliki keterbatasan dan sangat tergantung kepada yang Maha Kuasa.
Aturan-aturan dalam ritual tersebut juga menunjukkan bahwa untuk menghadap Sang Maha Kuasa harus penuh hormat dan tidak sembarangan. Menggambarkan kesadaran bahwa Allah itu agung dan Maha tinggi.
***
Referensi:
[1] Fridolin Ukur. 1971. Taniang Jawab Suku Dayak. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hlm. 65
[1] Hermogenes Ugang. 1983. Menelusuri Jalur-Jalur Keluhuran. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hlm. 11
[2] Tim Penyajian Pemaparan Budaya Spiritual Provinsi Kalimantan Tengah. 1995. Naskah pemaparan budaya spiritual paguyuban Hiyang Piumung. Palangka Raya. Hlm. 1