26.5 C
Singkawang
More
    BerandaGnōthi SeautonGnōthi Seauton!

    Gnōthi Seauton!

    Penulis | R. Masri Sareb Putra, M.A.

    Dekat bukit Parnassos, Yunani. Ada sebuah kuil. Pada pronaos (depan pintu gerbang) Kuil Apollo di Delphi, itu. Dahulu kala tertulis “gnōthi seauton”.

    Apa arti “bahasa dewa” itu? Sangat sangat dalam. Artinya: kenalilah dirimu! Banyak pemikir tingkat dewa telah menggunakan istilah itu, dalam pelbagai konteks. Mulai dari Aeschylus, Socrates, Plato, hingga Sarah Ida Shaw dan Elanor Dorcas Pond (1904).

    Mengenal diri sendiri adalah mengenal asal usul. Terutama menyangkut silsilah, klan, etnik, bahasa, dan budaya. Karena itu, seseorang yang tidak mengenal asal usul, terutama menyangkut silsilah, klan, etnik, bahasa, dan budaya menjadi luntur kualitas etnisitasnya.

    ***

    UNTUK itulah. Rubrik yang keren ini ada. Sekaligus berada. Rasanya, kami perlu menjelaskan duduk perkaranya. Juga apa yang menjadi maksud tujuannya. Agar Pembaca mafhum. Syukur, jika ada yang merasa bisa, menuliskan tentang sukunya.

    Dayak kini telah maju dalam bebagai aspek. Selamat tinggal citra peyoratif di masa lalu. Kini, di era modern, selamat tinggal segala hal yang merendahkan, me­marginalkan, serta upaya menjadikan etnis penghuni asli bumi Borneo itu hanya penonton pembangunan di daerahnya.

    Juga selamat tinggal Dayak menjadi objek kajian serta komodifikasi budaya oleh antropolog dan penulis asing. Kini Dayak harus ditulis oleh orang Dayak, sehingga sudut pandang menjadi lain. Sejarah Dayak harus ditulis orang Dayak sendiri. Juga nasib Dayak harus ditentukan Dayak sendiri.

    Dayak, dalam hitungan belasan tahun semenjak reformasi, 1998, telah bermetamorfosis sebagai sebuah etnis yang berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan etnis lainnya.

    Ditilik dari berbagai macam sudut, memang Dayak luar biasa berkembang. Ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, kesehatan, dan politik sungguh membuat decak kagum: semua orang Dayak tampil di aras puncak. Bahkan, tidak sedikit orang Dayak menjadi “raja” di daerahnya. Mereka sudah tidak ingin lagi raja dari luar memerintah dan menguasai daerahnya karena di antara mereka memang ada yang mampu dan cakap dalam banyak hal, termasuk pemerintahan.

    Mengamati fenomena keberkembangan Dayak dari waktu ke waktu, sungguh sangat memikat. Jika boleh digambarkan, perkembangannya berlangsung cepat dan demikian massif secara deret ukur. Sebuah transformasi yang menakjubkan. Meski demikian, etnis itu tetap guyub, dan dalam berbagai hal tetaplah tidak kehilangan identitas dan bela rasa sebagai sebuah entitas etnis berasal dan berpulau sama.

    Saya mengalami, betapa rasa kebersamaan dan hidup se­bagai saudara tumbuh demikian alami. Gotong royong masihlah hidup di antara orang Dayak, meski di kota metropolitan sesama tetangga orang tidak saling kenal, apalagi saling tolong. Niat dan upaya melindungi dan melestarikan alam, sebagai panggilan manusia yang menyatu dengan semesta, tetap ada; meski ada upaya investor menyulap belantara Borneo menjadi hutan tanaman industri.

    Back to nature tampak dari kearifan orang Dayak dalam berladang dan bercocok tanam. Mengambil dan memanfaat­kan hasil alam secukupnya saja, masih ada, terutama di desa-desa. Akan tetapi, di beberapa tempat, alam Borneo sudah mu­lai tercemar dan rusak. Ancaman sedang ada di depan mata.

    ***

    SIAPA yang peduli nasib dan keberlangsungan etnis Dayak di masa datang?

    Tidak ada! Kecuali orang Dayak sendiri. Oleh karena itu, diperlukan sebuah upaya yang sinergis, dari berbagai kalangan, dari beragam disiplin ilmu, agar Dayak tetap eksis dan terhor­mat. Lebih dari itu, agar orang Dayak menjadi tuan di negeri sendiri.

    Tidak bisa sendiri mengurai permasalahan orang Dayak. Dibutuhkan kerja sama berbagai pihak. Masing-masing, sesuai keahlian dan ilmunya, memberikan kontribusi nyata.

    Bila lagi orang kita punya media terhormat, kecuali sekarang? Bila lagi mencitrakan diri sendiri, dari dalam, jika bukan saat ini? Siapa lagi, jika bukan kita?

    Yang bergerak di bidang politik, melapangkan jalan bagi para kader menjadi pemimpin masa depan. Yang bergerak di bidang pendidikan, mendidik putra/i Dayak menjadi manusia unggul. Yang bergerak di bidang kesehatan masyarakat, men­jadikan orang Dayak sehat rohani jasmani. Yang bergerak di bidang agama, menjadikan orang Dayak bermoral dan berta­biat baik. Yang bergerak di bidang pemberdayaan ekonomi kerakyatan, menjadikan orang Dayak bebas secara finansial, bu­kan membuat mereka tergantung dan menjadi sapi perahan.

    Lalu yang bergerak di bidang budaya, membudayakan orang Dayak. Salah satu pembudayaan itu ialah membuat orang Dayak melek bahwa menjadi Dayak sebuah anugerah, bukan kutukan.

    Hingga pada akhirnya, meski sekarang pun sebenarnya su­dah, orang Dayak bangga menjadi Dayak. Bukan seperti dulu: malu mengaku Dayak karena Dayak identik dengan primitif dan keterbelakangan.

    ***

    MAKA saya sebagai pribadi tergelitik. Sekaligus terpanggil. Untuk membikin wadah mengabadikan bentuk budaya orang Dayak dalam hasil publikasi.

    Selama ini, budaya lisan dan seni tradisional Dayak ke­banyakan diteliti dan dipublikasi orang luar. Ada kekurangan­nya: sudut pandang menjadi berbeda, dan sebagaimana halnya sebuah publikasi, selalu ada keberpihakan dan kekurangpahaman yang membuat karya itu menjadi berat sebelah.

    Sebut saja hasil publikasi Jamie S. Davidson yang sarat bias karena sudut pandang Barat tentang politik Dayak. Di Barat pada umumnya, memang kekuatan ekonomi bersatu dengan kuasa dan politik, tapi di Kalimantan tidak demikian.

    Salah besar Davidson menuduh bahwa salah satu kekuatan ekonomi masyarakat Dayak menyokong, bahkan mempro­vokasi Kerusuhan Etnis di Kalbar pada 1999. Itu contoh sudut pandang.

    Contoh lain. Orang Dayak oleh Carl Bock dikatakan ma­nusia liar, seperti bebek yang pergi pagi, pulang sore, mencari makan. Tinggal di rumah yang tiangnya tinggi seperti kandang bebek. Ini salah besar! Sebab di Kalimantan, tiang tinggi untuk melindungi dari serangan binatang buas dan banjir.

    Bock yang datang ke Borneo sebagai manusia kulit putih merasa dewa di antara penduduk kulit berwarna, merasa beda kelas dengan penduduk setempat, membawa pikiran baratnya, tidak paham bahwa di daerahnya orang Dayak lebih pintar menaklukkan alam dibanding orang Barat yang jika kakinya terkena luka saja maut siap menjemput akibat tetanus dan di­gigit serangga hutan sudah luka parah!

    Tidak sedikit peneliti dan penulis barat yang terkena ma­laria sampai panas tinggi, hampir gila, bahkan ada yang mati; sementara orang Dayak cukup mencabut pasak bumi, meng­gigit, dan menelannya sebagai penawar lalu sembuh.

    Atau contoh lain soal akurasi. Betapa Karl Helbig, yang orang Jerman itu, salah menulis tempat tinggal di mana ia me­lintas dan meneliti. Sungkukng di ditulisnya Songkong, sesuatu yang jika dilafalkan bahkan orang daerah perbatasan dengan Malaysia itu tidak paham di mana?

    Siapa dalam hal itu lebih pintar berhadapan dengan alam dan lingkungan? Inilah, sekali lagi, perspektif! Perspektif orang luar selalu membawa konsep dan pemikiran sendiri di belakang kepalanya sesuai latar belakang dan pemahamannya.

    Betapa hasil publikasi orang asing yang sarat bias itu ke­mudian mempengaruhi persepsi banyak orang tentang Dayak. Seakan-akan Dayak masihlah manusia primitif dan seperti he­wan.

    Siapa yang mafhum perubahan dan kemajuan itu? Siapa yang terpanggil mengubah persepsi orang luar tentang Dayak?

    Sejatinya, sejarah perubahan dan kemajuan sudah ditu­lis orang Dayak sendiri. Termasuk nasib dan masa depannya. Kami hanya mengabadikannya saja.

    ***

    AKHIRNYA, harus disebutkan bahwa apa yang dilakukan owner dan jajaran manajemen portal dan media digital kita ini, patut disambut dengan hangat.

    Bila lagi orang kita punya media terhormat, kecuali sekarang? Bila lagi mencitrakan diri sendiri, dari dalam, jika bukan saat ini?

    Siapa lagi, jika bukan kita?

    Itu arti. Sekaligus filosofi makna rubrik kita. Hanya pertama kali ini saja dijelaskan.

    ***

    Bionarasi

    WhatsApp Image 2021 08 06 at 10.27.34

    R. Masri Sareb Putra, M.A., dilahirkan di Sanggau, Kalimantan Barat pada 23 Januari 1962. Penulis Senior. Direktur penerbit Lembaga Literasi Dayak (LLD). Pernah bekerja sebagai managing editor dan produksi PT Indeks, Kelompok Gramedia.

    Dikenal sebagai etnolog, akademisi, dan penulis yang menerbitkan 109 buku ber-ISBN dan mempublikasikan lebih 4.000 artikel dimuat media nasional dan internasional.

    Sejak April 2021, Masri mendarmabaktikan diri menjadi Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (PPM), Institut Teknologi Keling Kumang.

    Artikulli paraprak
    Artikulli tjetër

    Latest articles

    Explore more

    Arsip berita