27.5 C
Singkawang
More
    BerandaFeaturesSepenggal Cerita dari Yogya: Ziarah ke Sendang Sono

    Sepenggal Cerita dari Yogya: Ziarah ke Sendang Sono

    | Penulis: Amon Stefanus

    Bagiku nama Sendang Sono sudah tidak asing lagi di telinga. Nama itu sudah kudengar sejak aku duduk di bangku SD di kampung. Bagi umat Katolik Sendang Sono mempunyai arti tersendiri. Mengapa? Sendang Sono adalah tempat ziarah umat Katolik yang paling sering dikunjungi di Jawa Tengah. Sendang Sono terletak di desa Banjaroyo, Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta.

    Gua Maria Sendang Sono dikelola oleh paroki St. Maria Lourdes di Promasan, barat laut Yogyakarta . Tempat ziarah yang arsiteknya dirancang secara khusus oleh Romo Mangun ini pada tahun 1991 mendapat penghargaan dari Ikatan Arsitekstur Indonesia (IAI). Tempat ini juga mendapat penghargaan Agha Kan Award pada tahun 1992.

    Setiap bulan Maria yang jatuh pada bulan Mei dan September, Sendang Sono selalu ramai dikunjungi para peziarah. Kunjungan paling ramai biasa pada penutupan bulan Maria yakni pada akhir bulan Mei dan September.

    Tempat ziarah yang dibangun sebagai sarana devosi kepada Bunda Maria itu terletak di punggung bukit, tepat pada sebuah mata air di bawah pohon sono sehingga disebut Sendang Sono.

    Dari Yogyakarta dapat ditempuh dengan bis sekitar 2 jam perjalanan. Sekitar 1 km sebelum tempat ziarah didirikan sebuah gereja yang kapasitasnya dapat menampung sekitar 300 umat.

    Ziarah pertamaku ke Sendang Sono terjadi pada penutupan bulan Maria yakni pada bulan Mei 1989. Pada waktu aku baru menginjak semester III. Aku beserta teman-teman anggota Legio Maria (sebuah perkumpulan devosi kepada Bunda Maria), naik bus dari Yogya menuju Sendang Sono.

    Kami berangkat dari Jogja pada Sabtu 27 Mei 1989 pukul 21.00. Sekitar 1 jam perjalanan kami sampai ke Simpang menuju Sendang Sono. Ternyata yang ziarah ke Sendang Sono kali ini ramai sekali. Sepanjang jalan menuju simpang ke Sendang Sono telah berjejer puluhan bus. Para peziarah diperkirakan berjumlah ribuan.

    Bus rombongan kami tidak bisa mendekat ke persimpangan. Bus kami diparkir agak jauh dari persimpangan. Kami terpaksa berjalan kaki. Di antara rombongan kami ada beberapa mahasiswa baru yang baru tiba di Jogja. Mereka ada yang berasal dari Bangka, Pontianak, Medan, Palembang dan Lampung. Karena takut terpisah mereka berjalan dengan bergandengan tangan.

    Sebagai orang yang paling jangkung, Bang Sitepu mengambil inisiatif sebagai kepala jalan agar mudah dilihat. Sesekali ia mengacungkan tangannya agar kami tidak terpisah dari rombongan. Para polisi dan tentara pun sibuk mengatur lalu lintas.

    Memasuki jalan menuju lokasi, di kiri dan kanan terdapat penjual barang-barang rohani. Peziarah dapat membeli lilin atau jerigen atau botol berbentuk patung untuk menyimpan air sendang.

    Sekitar pukul 24.00 baru kami tiba di gereja. Kami beristirahat sambil minum dan makan kue-kue yang kami bawa dari Jogja. Selanjutnya kami akan melakukan jalan salib. Sebelum melakukan jalan salib (merenungi kisah sengsara Yesus), kami para peziarah berdoa dulu di situ. Selanjutnya sambil mendaraskan doa Salam Maria kami mengikuti jalan salib, yakni perjalanan yang melewati jalan-jalan berliku dan mendaki untuk menuju gua Maria.

    Sepanjang jalan salib itu ada perhentian-perhentian. Ada 14 perhentian dimana setiap perhentian ada sebuah pondok dengan relief yang melukiskan kisah sengsara Yesus ketika memanggul salib menuju Bukit Galgota. Di setiap perhentian para peziarah biasanya menyalakan lilin untuk berdoa dan merenungkan kisah sengsara Kristus seperti terpahat pada relief.

    Jalan di sepanjang jalan salib itu ternyata belum diaspal. Karena dari sore hujan tiada henti, maka jalan yang kami lalui becek berlumpur. Untung aku pakai sepatu sehingga tidak terlalu sulit melalui jalan itu. Yang kasihan adalah mereka yang memakai sandal jepit.

    “Aduh… tolong, sandalku masuk dalam lumpur,” kata seorang gadis berambut panjang yang berjalan di samping aku dan Joni. Joni berusaha membantunya mengambil sandal tersebut, kemudian membuang tanah yang menempel dengan memukulnya ke batang kayu di pinggir jalan. Kemudian baru diserahkan pada gadis tersebut.

    “Terima kasih mas,” kata si rambut panjang.

    Belum sampai 10 meter kami berjalan, sandal jepit si rambut panjang terpendam lagi dalam lumpur. Kali ini aku yang menolongnya. Setelah membuang tanah yang menempel, sandal kukembalikan pada cewek tersebut.

    “Terima kasih mas,” kata si rambut panjang masih terengah-engah.

    “Sama-sama. Kamu Tari ya?” tanyaku. Karena hanya berpenerangan lilin jadi pandanganku agak kurang jelas.

    “Iya mas,” jawabnya.

    “Mengapa tidak pakai sepatu?” tanyaku lagi.

    “Aku tidak menduga kalau malam ini hujan. Kalau tidak hujan, pakai sandal lebih praktis,” kata Tari menjelaskan.

    Berkali-kali sandal Tari terpendam dalam lumpur. Berkali-kali pula aku dan Joni menolongnya. Berkali-kali pula ia mengucapkan terima kasih kepada aku dan Joni

    Sekitar pukul 01.30 baru kami sampai ke kompleks gua Maria. Kami memasuki pelataran yang di tengahnya di bagian bawah terdapar keran air untuk mengambil air di mata air Sendang Sono, yang terletak di sebelah atasnya, sumber mata airnya yang dibentuk seperti sumur yang ditutup.

    Setelah doa pribadi, kami mencari tempat yang agak sepi untuk sekedar mengistirahatkan kaki. Secara kebetulan aku dan Joni duduk dekat Tari dan Ningrum.

    “Tidak ngantuk Mbak Tari?” kataku membuka percakapan

    “Ngantuk sih ndak. Tapi capek. Ini gara-gara sandal jepit.” Katanya.

    “Sudah sering ke sinikah Mbak?”

    “Belum terlalu sering sih. Walaupun aku orang Jogja tapi aku baru 2 kali dengan ini pergi ke Sendang Sono,” begitu pengakuan Tari.

    “Kok baru dua kali? Kenapa?” aku bertanya lagi.

    “Mungkin karena dekat tempat tinggalku ada juga gua Maria,” kata Tari.

    “Apa nama tempat itu?” tanyaku.

    “Sendang Jatiningsih,” jawab Tari.

    “Oh ya. Di mana  letak Sendang Jatiningsih itu?” tanyaku pada Tari.

    “Gua Maria Sendang Jatiningsih diresmikan pada tahun 1986. Gua Maria ini menawarkan kedamaian yang menyatu dengan alam karena terletak di tepi aliran Sungai Progo, sekitar 17 km di barat kota Yogyakarta. Tepatnya di Dusun Jitar, Desa Sumber Arum, Kecamatan Moyudan, Kabupaten Sleman.

    Dari Pasar Godean kamu bisa berkendara terus ke arah barat sekitar 6 km sampai menjumpai papan penunjuk Gua Maria Sendang Jatiningsih di kiri jalan. Jika sudah bertemu petunjuk arah tersebut kamu belok kiri dan ikuti jalan. Sendang Jatiningsih berada sekitar 900 meter dari jalan utama.” Demikian Tari menjelaskan lokasi Sendang Jatiningsih.

    “Kalau naik bus, pakai bus apa agar sampai ke sana?” tanyaku lagi.

    “Dari Terminal Giwangan kamu bisa naik bus Pemuda dengan rute Jogja – Girimulyo. Sesampai di terminal satelit Ngapak kamu turun dan melanjutkan dengan berjalan kaki melewati Dusun Pingitan . Sekitar 10 menit kamu sudah sampai di Sendang jatiningsih,” begitu Tari menjelaskan rute perjalanan jika naik bus.

    “Wah menarik. Kapan-kapan mau pergi ziarah ke sana,” kataku.

    Menjelang subuh kami mengikuti misa yang dipusatkan di gua Maria. Sekitar pukul 05.00 kami menuju ke bus untuk pulang ke Jogja.

    Artikulli paraprak
    Artikulli tjetër

    Latest articles

    Explore more

    Arsip berita