| Penulis: Lisa Mardani
Oktaviani Abik, saat mencoba “takui tupik” yang dianyam oleh neneknya.
Suku Dayak Uud Danum Kalimantan Barat, memiliki beragama jenis anyaman. Salah satunya adalah anyaman rotan yang berbentuk topi fedora. Topi tersebut dianyam dengan motif yang khas. Dalam bahasa Uud Danum (auh eto’k) disebut “takui tupik”. Takui tupik terdapat di kecamatan Ambalau dan Serawai.
Oktaviani Abik, salah seorang warga dari Kopingoi berbagi cerita. Bahwa di desa Tambun, Kec. Ambalau, juga membuat aneka anyaman rotan. Tas anyaman rotan dan takui tupik. Topi takui tupik biasanya digunakan pada saat acara adat. Bisa juga digunakan untuk jalan-jalan. Atau pada saat rekreasi ke pantai dan naik perahu.
Takui tupik menggunakan bahan rotan yang berkualitas. Biasanya, kaum ibu dari Uud Danum memilih rotan yang disebut “uoi sohkok”. Sebab rotan jenis ini lentur dan dapat bertahan lama. Rotan yang telah kering akan dibelah dan diserut.
Warna yang digunakan untuk menghias topi adalah pewarna alami. Pada umumnya, takui tupik diberi wana hitam dan merah.
Topi anyaman rotan “takui tupik” di Kopingoi desa Tambun, Kec.Ambalau, Kab. Sintang, Kalimantan Barat.
Bahan yang digunakan, serta proses pewarnaan rotan untuk takui tupik adalah sebagai berikut;
- Warna hitam diambil dari tanaman “solopihpih”. Tanaman khas yang ada di daerah Uud Danum. Daunnya berwarna hijau. Lebar daun sebesar daun asam kandis. Tinggi pohon sekitar 1,5-2 meter dari permukaan tanah. Daun solopihpih dipetik. Lalu dimasukan ke dalam panci. Direbus di atas tungku api hingga matang. Setelah daun rebusan dingin, rotan yang telah diserut, digulung. Direndam dengan daun rebusan solopihpih selama 4-7 hari. Proses perendaman yang lama akan menghasilkan warna hitam pekat yang disebut “ahtek.”
- Warna merah diperoleh dari getah buah rotan. Orang Uud Danum menyebutnya “soronang”. Soronang dimasukan ke dalam mangkok tempurung kelapa. Kemudian dipanaskan dengan bara api hingga meleleh. Rotan yang telah diserut, dicelupkan ke cairan soronang yang berwarna merah.
Bagi Dayak Uud Danum, takui tupik merupakan topi yang istimewa. Hal ini menunjukan keuletan perempuan Uud Danum. Terampil dalam mengelola sumber daya alam yang ada. Dalam pembuatan takui tupik tidak sembarangan. Tidak semua orang yang bisa menganyamnya. Membutuhkan ketekunan dan ketelitian. Baik dari segi pemilihan rotan, proses pewarnaan, hingga menganyam.
Dari keterangan beberapa keluarga di Serawai, di Desa Buntut Ponte, kecamatan Serawai juga sering membuat takui tupik. Biasanya dibuat sebagai kenangan. Diberikan kepada tamu istimewa. Sebagai hadiah/cendera mata. Ada juga yang membuatnya apabila ada pesanan dari pembelinya.
Enok Roni S.Pd, tenaga pengajar di SDN Serawai mengatakan; bahwa dia pernah juga memesan takui tupik. Dari seorang ibu, pamanya Jahoi. Di daerah Luvang Lokaoi (desa Lokaoi dalam), Kec. Serawai.
Foto istimewa Enok Roni S.Pd, saat memakai “takui tupik” dari desa Luvang Lokaoi, Kec. Serawai, Kab. Sintang.
Berdasarkan keterangan dari beberapa kerabat di Uud Danum. Saya menyimpulkan, bahwa hampir semua desa yang ada di kecamatan Ambalau dan kecamatan Serawai, ada yang bisa menganyam takui tupik.
Uniknya, yang menganyam takui tupik ini adalah kaum wanita. Sejak dulu hingga kini, baik secara langsung ataupun tidak. Saya menemukan bahwa orang tua/neneklah yang gemar membuat anyaman rotan takui tupik. Anyaman rotan takui tupik jumlahnya terbatas. Hal ini dikarenakan tingkat kesulitan menganyam yang rumit. Rotan yang berkualitas semakin berkurang.
Harapan saya, semoga generasi muda dari wanita Uud Danum . Mau belajar dan melestarikan tradisi menganyam rotan. Terutama anyaman takui tupik khas orang Uud Danum.
Pascal Couderc, dari Eropa Barat (Prancis). Memakai “takui tupik” saat naik perahu. Ia berkunjung dan meneliti kebudayaan Uud Danum pada 20 Mei 1991. Sumber foto. FB Pascal Coudrec.
***
Bionarasi
Lisa Mardani, S.Pd.K., dilahirkan di Kepingoi, Kalimantan Barat pada 11 Oktober 1986. Seorang perempuan dari suku Dayak Uud Danum. Sejak tahun 2021 aktif menulis feature tentang suku Dayak Uud Danum.