| Penulis: E. Widiantoro
Rumah Datuk di Sungai Raya. Jalan Adi Sucipto sebelah kiri, masuk Gang Ikhlas. Setelah masuk gang kira-kira tiga ratus meter ada gertak di bibir Sungai Kapuas. Nah, rumah datuk berdiri di tanah sudut antara Gang Ikhlas dan gertak yang sebenarnya panjang.
Rumah datuk menghadap Sungai Kapuas. Halamannya luas. Samping kanan Gang Ikhlas, di depan gertak. Di bawah gertak, air sungai Kapuas yang kecokelatan mengalir tenang.
Di depan rumah Datuk, seberang gertak, ada surau, namanya Surau Al Ikhlas. Surau lama. Selasar dan lantai dalamnya dari papan belian dilapis karpet hijau. Bagian depan, halaman telah dicor semen. Di bawah surau jelaslah bukan tanah tetapi Sungai Kapuas. Jika berdiri di selasar atau halaman surau siapapun akan leluasa benar menyaksikan permukaan Sungai Kapuas dan pemandangan di seberang; deretan panjang rumah orang-orang. Hijau pohon di kejauhan. Langit biru dan awan. Luas! Belum lagi kapal yang mesinnya menderu sesekali melintas. Motor klotok. Tongkang. Pun sampan berbayar yang membawa orang menyeberang. Istilahnya, sampan tambang.
Rumah datuk lumayan kokoh dan besar. Rumah pertama di sebelah Gang Ikhlas. Setelahnya barulah ada rumah tetangga berderet, rapat menghadap gertak panjang. Kawasan padat pemukiman.
Arsitektur rumah datuk khas zaman dulu. Sebagian besar lantai dan tiangnya dari kayu belian. Dinding cat kuning gading. Atap yang dulunya sirap telah diganti seng cokelat bergelombang. Ruang dapur dilengkapi dua kamar mandi. Kamar tidur tujuh, masing-masing ukuran tiga kali tiga meter. Ruang depan luas. Ada satu set kursi kayu telah tua. Televisi tabung di bufet ukiran kayu jati. Jam dinding bundar bergaya klasik. Jendela tinggi dan lebar. Daun jendela kiri-kanan dari papan tipis susun sirih warna hijau tua. Ruang depan biasa difungsikan pula sebagai ruang keluarga.
Saban tahun, segenap keluarga besar datuk pasti bekumpol di rumah itu. Datuk sendiri masih bugar di usia delapan puluh tiga. Anak datuk semua ada sebelas. Tiga telah meninggal lama, yang lain masih hidup. Cucu dua puluh tujuh. Cicit sembilan. Ketika semua bekumpol, rumah datuk jadi ramai. Tak cukup tidur di rumah, dalam kamar atau ruang tamu, di surau pun takpe. Adik beradik anak-anak kandung datuk bertemu. Sudah tua, rata-rata rambut putih semua. Pun sesama ipar. Biras. Sepupu. Keponakan. Berbaur jadi satu. Tak dihitung lagi berapa kilo beras yang habis tiap hari. Berapa duit untuk makan minum dan gula kopi. Belum lagi cucu cìcit yang bermain-main, gurau, bertangisan. Begadoh. Sepi. Begadoh lagi. Budak-budak kecik main sana-sini berkejaran dalam rumah. Ah, biarlah. Abaikan dulu itu. Yang penting bekumpol dulu. Setahun sekali. Ini jadi tradisi. Waktunya pas lebaran. Hari raya idul fitri.
***
Tahun ini, aku yang tinggal di Kalimas Sungai Kakap pasti ke rumah datuk. Lebaran. Bekumpol ngan keluarga. Aku cucu datuk yang kesebelas dari sebelah bapak, anak datuk nomor tujuh. Anakku sendiri empat. Lelaki tiga, perempuan satu jak. Ah, betapa aku telah tua di usia empat puluh lima.
Nanti di rumah datuk dua atau tiga hari aku akan bersama dengan keluarga yang tinggal jauh dari Sungai Raya, lama tak pernah berjumpa. Komunikasi di antara kami selama ini hanya lewat telepon jak.
Jelang akhir ramadhan, biasanya semua keluarga dari mana-mana daerah di Kalimantan Barat telah berdatangan. Suasana rumah datuk seperti orang hendak pesta. Ramai. Kami yang lelaki, walau dah tua gini biasa main gaplek semalaman dengan dulor yang masih muda. Main kartu remi. Ngembun. Habislah aek kopi seceret. Pisang goreng. Martabak manis. Bakwan. Pasti dah!
Hari terakhir ramadhan acara kami biasa ziarah ke kubur nenek di Kampung Bangka. Setelah itu bayar zakat fitrah dua setengah kilogram beras per jiwa. Jangan lalai. Bayar zakat fitrah harus dilakukan sebelum shalat idul fitri. Jika setelah itu tak bernilai zakat fitrah lagi, sama halnya dengan sedekah biasa. Malam, kami takbiran di surau depan rumah. Di luar, pinggiran Sungai Kapuas menggelegar karena dentuman meriam karbit yang saling bersahut. Ini jadi tradisi setiap malam lebaran.
Hari pertama lebaran, kami sungkem dan bersalaman dengan datuk memohon maaf lahir dan batin untuk semua kesalahan, sengaja atau tak sengaja. Sungkem dimulai dari anak datuk yang paling tua, terus berlanjut sampai cicit terakhir yang baru lahir. Aku menunggu saat itu. Saat melihat datuk yang berkacamata tebal, kopiah hitam sedikit miring ke kiri, bersarung, kemeja dan beskap hitam duduk sendiri di kursi menerima salam kami, mendoakan kami. Datuk mengelus-elus kepala kami. Membagikan amplop berisi uang untuk cicit dan buyutnya yang masih kecik. Datuk punya uang dari rumah kos dan kontrakan miliknya yang berderet di Gang Ikhlas.
Bekumpol dengan segenap keluarga besar datuk jadi saat yang kunanti. Lebaran idul fitri. Waktunya tak lama lagi. Bulan depan. Puasa Ramadhan. Syawal. Nah!
Kudengar kabar dari sepupu di Sungai Ambawang, cucu datuk yang pertama, datuk hendak menjual rumah besar itu. Hasil penjualan untuk merehab surau. Datuk hendak jadikan surau itu lebih cantik dan megah dari rumah semua orang, tempat ibadah yang nyaman bagi jemaah sekitar. Tak perlu menyusun proposal yang dibawa ke mana-mana. Malu! Kata datuk, seorang muslim bukan pengemis, apalagi untuk membangun rumah ibadah harus meminta uang ke semua orang. Datuk tak mau. Biarlah uang untuk membangun surau itu datuk yang tanggung. Biarlah ia harus menjual rumah. Sepupuku, jelas becakap gitu kemarin video call.
Aku termenung mendengar kata abang sepupu. Jika benar gitu, betapa sepinya lebaran tahun ini. Ke rumah siapa hendak bekumpol keluarga. Ke rumah wak, anak datuk tertua di kampung Bangka? Entahlah.
Aku mencari tahu kebenaran cerita rumah datuk hendak dijual untuk rehab surau. Kudatangi datuk di rumahnya. Kata datuk, ya. Sudah ada orang yang hendak membeli dengan harga lumayan. Tujuh ratus juta lebih sedikit. Orang dari Ketapang. Lalu ke mana datuk tinggal jika rumah itu dijual? Datuk menjawab enteng jak; di Gang Ikhlas. Ada satu rumah yang tak dikontrakkan lagi. Rumah kecil untuk keluarga kecil.
Aku diam. Rumah datuk menyimpan banyak kisah. Rumah bersejarah. Terbayang lagi masa kecilku di rumah datuk. Belajar sholat dan mengaji di surau. Berenang belimbur air pasang di Sungai Kapuas. Seharian bolos sekolah hanya untuk memancing udang dan ikan seluang. Ketahuan bapak begitu, aku dihukum. Dikurung di rumah tak boleh ke mana-mana setelah pulang sekolah. Tak dapat uang jajan selama seminggu. Kelas lima SD aku ikut bapak yang berdagang di Pasar Tengah pindah ke Kalimas sampai sekarang tak pernah tinggal di kampung lain.
Sehari jelang puasa ramadhan kemarin akhir bulan Syaban rumah datuk benar-benar dijual. Ada akta jual beli dari notaris. Sah! Surau Al Ikhlas pun langsung dibongkar. Renovasi dimulai. Semua biaya datuk yang tanggung tanpa bantuan orang lain.
Datuk berdiri di sampingku melihat langsung proses pembongkaran surau oleh beberapa pekerja. Ia tersenyum lega. Katanya menyebut nama lengkapku; Adhe Sahar Rahman, siape bilang harta tadak bise dibawa mati. Bise! Carenye ginilah. Insya Allah…! Semoge Allah rida dengan usahaku ini.
Aku mengangguk pelan. Kupandangi wajah datuk yang teduh. Kutatap permukaan air Sungai Kapuas mengalir tenang, setenang jiwa datuk. Ia bukan calon kepala daerah. Tak sedang berkampanye. Tak melakukan pencitraan. Datuk telah selesai dengan urusan dirinya sendiri di dunia ini. Meninggalkan rasa haru yang mendalam di hatiku.
Kalimas, 28 April 2020.
***
Foto ilustrasi: pontianak.tribunnews.com