| Penulis: R. Masri Sareb Putra
Di kawasan Menteng, Jakarta. Saya perhatikan. Rumah-rumah pejabat dan orang kaya beratap sirap.
Ketika biasa lewat, untuk berbagai keperluan di daerah itu, mata saya awas menyaksikan mana-mana rumah beratap sirap. “Baru” 31 tahun tiggal di Jakarta, sejak 1989, Menteng adalah kawasan main saya. Pernah bersama adik sepupu ngekos sebelah sana dikit Jalan Pegangsaan Timur, ketika itu.
Nah, arah kantor PDIP yang diserbu dulu, persisnya sepanjang Jalan Diponegoro. Berbaris rumah mewah beratap sirap. Sedemikian rupa, sehingga atap sirap dari bahan kayu belian menunjukkan kelas tertentu. Super. Domus primus inter omnes.
Di Kalimantan Tengah, jika suatu ketika berkunjung ke sana. Anda bisa saksikan rumah dan bangunan berkelas menggunakan atap sirap dari kayu besi ini. Rumah Adat tempat menyidangkan adat, terbuat dari atap sirap. Begitu pula, rumah dan bangunan mewah lainnya, beratapkan sirap.
Di kawasan Kampung Budaya, Pampang, Kalimantan Timur. Seluruh bangunan terbuat dari kayu belian. Atap sirap yang dipasang rapi berjajar, menunjukkan ciri khas arsitektur, sekaligus mempertontonkan keindahannya.
Di Kalimantan Barat, seluruhnya rumah adat beratapkan sirap, kecuali yang modern rumah radakng di Pontianak. Di Saham, Ensaid, dan rumah panjang Sungai Utik, Kapuas Hulu, seluruh bangunan berarapkan sirap.
Sementara di kampungku, sudah langka orang menggunakan atap sirap dari bahan kayu ulin. Ketika membangun rumah penulis, saya memesan khusus. Memang bisa dipesan.
Saya gunakan atap sirap juga untuk WC di ekowisata Riam Ituu dan atap altar. Biar terkesan “wah”. Saya suka atap sirap warna hitam kecokelatan, tidak diapa-apakan, tampil alami begitu saja.
Atap sirap masih banyak yang menggunakan. Terutama untuk tujuan tertentu, agar mencolok mata, agar tetap memelihara adat budaya dan tradisi.
Ada yang suka ujung sirap rata. Namun, saya lebih suka yang diruncing. Tampak lebih artistik. Menunjukkan kehalusan pekerjaan. Dan memang tidak mudah.
Harga kini per meter kubik atap sirap di kota a rp 7 juta. Di kampungku, minta orang mengerjakannya, bisa 10 x lebih “menjimatkan kos”– kata orang Malaysia, alias memangkas harga. Asalkan ada bahan (kayu)-nya. Masih banyak orang bisa mengerjakan, atau membuat atap sirap.
Nah, atap sirap, kayu glondongan, kubikan, tiang, atau apa pun, adalah sisi bentuknya atau forma. Materia, bahannya, ya kayu ulin itu sendiri. Diperkirakan, bahan bangunan untuk apa pun, yang dianggap berkelas, masih ada permintaan tahun-tahun mendatang. Bukankah hukumnya, semakin langka, semakin suatu berharga?
Ayo tanam kayu ulin!
sumber ilustrasi
1. langit7.
2. selebihnya, dokpri penulis.
***
Bionarasi
R. Masri Sareb Putra, M.A., dilahirkan di Sanggau, Kalimantan Barat pada 23 Januari 1962. Penulis Senior. Direktur penerbit Lembaga Literasi Dayak (LLD). Pernah bekerja sebagai managing editor dan produksi PT Indeks, Kelompok Gramedia.
Dikenal sebagai etnolog, akademisi, dan penulis yang menerbitkan 109 buku ber-ISBN dan mempublikasikan lebih 4.000 artikel dimuat media nasional dan internasional.
Sejak April 2021, Masri mendarmabaktikan diri menjadi Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (PPM), Institut Teknologi Keling Kumang.