28.5 C
Singkawang
More
    BerandaSastraBerpacu Nasib di Kebun Karet

    Berpacu Nasib di Kebun Karet

    | Resensator: Handoko Widagdo

    Judul: Berpacu Nasib di Kebun Karet

    Judul Asli: Rubber

    Penulis: Madelon Hermine Szekely-Luluofs

    Tahun Terbit: 1995

    Penerbit: Grafiti Press                                                                                                      

    Tebal: 267

    Perkebunan adalah sebuah mesin kapitalisme. Perkebunan menjanjikan kesejahteraan bagi semua yang terlibat, tetapi tidak pernah mewujudkannya.

    Demikian pula dengan perkebunan karet di Tanah Deli di Sumatra Timur di awal abad 20.

    Madelon Hermine berhasil dengan sangat baik menggambarkan pergumulan para pihak yang terlibat dalam pengembangan dan pengelolaan kebun karet di bagian utara Pulau Sumatra ini.

    Frank Versteegh dan istrinya Marian memilih berlayar ke Tanah Deli, bergabung dengan perkebunan karet milik perusahaan Amerika. Setelah bisnisnya bangkrut, pilihan bagi pasangan ini adalah mengumpulkan modal di Tanah Deli.

    Dengan harapan bahwa 5 tahun bekerja di kebun karet, dengan kareer yang terus meningkat, mereka akan memiliki cukup modal untuk menikmati hidup di saat tua di Belanda. Hanya perlu 5 sampai 10 tahun untuk bekerja keras di kebun karet, dan seterusnya bisa menikmati hidup yang layak di negeri Belanda.

    Namun kemakmuran yang tiba-tiba karena harga karet yang melambung justru menghancurkan masa depan mereka. Pesta pora, konsumerisme dan kehidupan hedonis menguras tabungan mereka. Saat harga karet merosot, dan banyak dari mereka harus pulang ke negeri Belanda karena PHK, mereka tidak memiliki uang yang cukup seperti yang mereka cita-citakan.

    Kerja keras dan kesepian membuat mereka jenuh dan melampiaskannya dalam perilaku barbar di club satu-satunya di Ranjah. Mereka minum, saling maki dan kadang-kadang berkelahi untuk melepas ketegangan yang dialaminya.

    Perilaku barbar ini aman-aman saja saat hanya para Belanda lelaki lajang. Justru pelampiasan di dalam club tersebut adalah alat sosial yang manjur dalam menyelesaikan persoalan-persoalan di antara mereka. Ketidakpuasan di tempat kerja bisa dilepaskan melalui umpatan dan kadang-kadang perkelahian di antara mereka dan setelahnya selesai.

    Namun masalah menjadi semakin kompleks ketika para lajang ini sudah mulai membawa istrinya. Kehadiran perempuan ini menyebabkan perilaku mereka harus lebih sopan dan penuh basa-basi. Para lelaki tak bisa menumpahkan ketegangannya melalui mabok dan umpatan-umpatan dan kadang perkelahian, karena di hadapan perempuan mereka harus sopan.

    Dengan datangnya para perempuan, kebutuhan akan saling pamer juga semakin tinggi. Pakaian-pakaian mode terakhir dan mobil-mobil terbaru mulai menguras keuangan mereka. Gengsi diantara mereka tersulut karena perempuan.

    Bukan itu saja. Ketika harga karet terus melambung, kegilaan para bule ini menjadi semakin menjadi. Perselingkuhan mulai terjadi. Bahkan sering terjadi secara terang-terangan dalam pesta club yang liar. Perselingkuhan Renee, istri Van Laer si kepala kebun dengan Ravinski seorang asisten adalah contohnya. Renee seorang gadis muda yang cantik jelita merasa kesepian tinggal di komplek kebun karet.

    Sementara suaminya tenggelam dalam pekerjaan dan berhemat supaya bisa memiliki tabungan yang cukup saat kembali ke negeri Belanda. Dalam kesempatan tersebut, Renee bertemu ravinski yang ganteng dan pintar berdansa. Perselingkuhan ini berakhir dengan perceraian.

    Kehidupan kebun karet yang keras kadang-kadang menjadi sangat kejam. Joob, seorang asisten kebun terbunuh saat menangani kuli kebun yang mogok tak mau kerja. Joob meninggalkan istrinya yang sedang mengandung. Keluarga Frank dan Marian harus kehilangan Bobi anaknya yang lahir di Ranjah karena sakit.

    Madelon tidak hanya menggambarkan keburukan manusia-manusia yang dikuasai oleh system kapitalisme perkebunan. Ia juga menonjolkan kemanusiaan para tokohnya. Kesederhanaan dan cinta yang tulus antara Frank dan Marian menjadi contoh betapa cinta bisa melewati segala tekanan yang ada.

    Kecintaan Saina si nenek yang menjadi pengasuh Bobi dan Treese adalah contoh lain. Saina mendekap Treese dan tak mau melepaskannya saat kapal sudah akan berangkat. Dengan bercucuran air mata akhirnya Saina turun dari kapal. “Biar Saini yang mengurus Sinyo Mem,” kata Saina saat Frank dan Marian pulang ke Belanda.

    Madelon menggambarkan bahwa sistem perkebunan ini sangat buruk memperlakukan para kuli kontrak. Supaya para kuli ini tidak bisa kembali ke Jawa saat kontraknya habis, maka disediakan perjudian dan pelacuran untuk menguras uang mereka.

    Dengan habisnya uang mereka maka mereka bisa dikontrak dengan harga lebih murah dan perusahaan tidak perlu mengeluarkan biaya transport dari Jawa ke Sumatra. Para kuli ini dianggap sebagai monyet bodoh yang tidak punya ekspresi. Mereka hanya bekerja dan bekerja seperti binatang.

    Di novel lainnya, Madelon menggambarkan lebih detail tentang penderitaan para kuli ini. Itulah sebabnya ada yang menjuluki Madelon sebagai Multatuli perempuan.

    ***

    Bionarasi

    HW Handoko Widagdo

    Handoko Widagdo dilahirkan di Grobogan pada 25 Maret 1965. Pemulung dan pembaca buku. Menulis lebih dari 600 resensi buku. Sebagian resensi terbit di Harian Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Kompas.id, Koran Sindo, Komunitas Bambu; Menulis feature di The Jakarta Post dan Majalah Jade.

    Menulis buku:

    1. Penggerek Batang Padi

    2. Anak Cino

    3. Kalimantan Utara di Mata Saya.

    Menulis buku bersama:

    1. Indonesia Amnesia

    2. #KamiJokowi

    3. Aji “Chen” Bromokusumo – Politisi Tionghoa yang Menerobos Tradisi.

    Artikulli paraprak
    Artikulli tjetër

    Latest articles

    Explore more

    Arsip berita