25.7 C
Singkawang
More
    BerandaUncategorizedCerpen | Rumah Tanpa Pagar

    Cerpen | Rumah Tanpa Pagar

    | Penulis: E. Widiantoro

    Pagi tadi aku berdebat lagi dengan Utami, perempuan Tanjung Nipah yang telah kunikahi selama sebelas tahun. Tema perdebatan masih sama seperti sore kemarin. Soal pagar rumah. Utami ingin rumah yang baru kami tempati selama tujuh bulan setelah pindah dari Sungai Bangkong dilengkapi dengan pagar besi. Sebaliknya aku ingin punya rumah tanpa pagar, apa lagi pagar besi yang tinggi dan bagus ongkos pembuatannya pasti mahal. Nah, begitulah. Pikiran kami berbeda. Sungguh bertolak belakang.

    “Pa, halaman rumah kita tuh mesti dipagar lho. Demi keamanan. Kalo ada orang yang mau maling mikir-mikir gimana cara masuknya,” kata Utami sewaktu kami duduk santai di ruang tengah, letaknya bersebelahan dengan ruang tamu, hanya disekat dinding tembok yang jadi tempat favorit kami berbincang apa lagi di hari libur aku tak pergi ke kantor. Utami menghidangkan sepiring roti biskuit cokelat.

    “Mau maling apa, Ma? Di rumah kita ndak ada apa-apa yang berharga,” kataku membantah. Di rumah kami memang tak ada barang mewah yang berharga sangat mahal. Kami tak mampu membelinya. Uang dari mana? Gajiku tiap bulan hanya cukup untuk bayar cicilan rumah, angsuran bank, tabungan keperluan anak sekolah dan makan sehari-hari kami bertiga; aku, Utami dan Melati putri kami kelas lima madrasah ibtidaiyah.

    “Eeeh jangan salah, Pa. Kita punya tiga tabung gas. Kalo disikat maling dan dijual satu tabung gas masih bisa laku seratus ribu lho,” katanya. Aku menyahut tenang.

    “Ah, itu sih kecil. Tabung gas diambil maling biar aja. Aku masih bisa beli yang baru jadi gantinya,”

    “Pa!” rungut Utami. Matanya mendelik. Dahinya berkerut tebal menahan gusar. “Jangan berlagak mampu gitu ah!”

    “Yaa mau apa lagi?”

    “Di rumah ini ada kulkas, tivi, kipas angin, mesin cuci dan kompor gas. Kalo diitung-itung semua harganya bisa sampe sepuluh juta. Ini aset yang harus kita jaga, Papa,”

    “Kalo disikat maling juga ya mau gimana lagi?” tanyaku datar.

    “Ya, harus dijaga dong Papa. Makanya halaman rumah kita dibangun pagar besi yang tinggi sampe dua meter. Dikunci gembok. Pake remote control,“

    “Biayanya berapa?”
    “Paling mahal lima puluh juta,”
    “Uang dari mana, Ma? Uang siapa?” tanyaku lagi.
    “Uang Papa dong. Siapa lagi? Nanti kalo mama dapat uang dari orang lain Papa pasti marah dan cemburu,” suara Utami bercanda. “Hayo ngakuuu?”

    “Hhmm.” Aku membuang wajah menatap gorden terembus angin dari arah depan rumah yang pintunya sengaja dibuka.

    “Tuh, kaann.“ Utami tersenyum lebar telah menyebabkan aku kesal dengan omongannya. Ia tahu benar, pegawai negeri golongan rendah seperti aku mana mungkin bisa pegang uang lima puluh juta rupiah jika tak dapat pinjaman bank.

    “Papa sih maunya tetap aja rumah kita di Tanjung Nipah ini ndak ada pagar, Ma.” kataku bersikukuh dengan pendapat semula.

    “Harus ada pagar, Pa. Selain untuk keamanan, pagar juga berfungsi estetis. Rumah akan semakin indah dengan pagar,” kilah Kenanga mempertahankan pendapatnya. Aku senyum saja. Rasanya jauh banget bisa punya rumah dengan pagar yang bagus. Biaya dari mana? Pinjaman bank? Ah, ndak usah dululah. Pinjaman pertama tempo hari dapat seratus juta waktu pelunasan masih tersisa tujuh tahun.

    Mulut Utami sedikit terbuka hendak menanggapi omonganku ketika terdengar halus mesin mobil sedan berhenti di muka rumah. Aku berdiri sekadar mengintip di balik pintu. Sedan putih mengkilap mulus membunyikan klakson. Tin-tin!

    “Siapa, Pa? Nggak sopan banget main klakson aja,“ Utami tersulut emosi. Ia memang tak bisa menerima kebiasaan seseorang main klakson tanpa alasan jelas apa lagi di kompleks perumahan yang letak rumahnya saling berdekatan bisa mengganggu ketenangan tetangga.

    “Entahlah, Ma. Biar aja. Kalo tamu kita pasti dia turun dari mobil melangkah masuk halaman, mengetuk pintu dan berucap salam,” kataku balik lagi duduk di kursi.

    “O, mungkin tamu si Jupri,“ Utami mengarahkan pandangan ke pintu, menyebut nama tetangga yang rumahnya berhadapan dengan rumah kami hanya terpisah jalan kompleks selebar dua setengah meter. Rumah Jupri seperti tanpa penghuni. Pintu tertutup rapat. Pagar besi tinggi dikunci dengan gembok besar. Suara klakson terdengar lagi. Tin-tin!

    “Hhmm, mau cari gara-gara tuh orang!” Utami makin gusar. Ia berdiri hendak melangkah keluar. Pasti ingin menegur sopir mobil yang main klakson sembarangan tak peduli lingkungan.

    “Udah, Ma. Biar aja. Kalo sampe ribut malu sama tetangga,” cegahku. Utami menurut. Ia duduk lagi tepat di depanku. Tak lama terdengar suara gaduh. Seseorang mengetuk berkali-kali besi pagar rumah Jupri dengan benda, mungkin anak kunci. Ting! Ting-ting! Ting-ting-ting! Ting-ting!

    “Duuuuh kerjaan siapa lagi tuh? Bikin ribut aja, Pa. Kupingku sakit dengarnya,” keluh Utami gusar lagi. “Mama udah nggak tahan pingin ngelabrak!”
    “Tenang, Ma. Sabar. Orang sabar biasanya bahasa Sunda,”
    “Itu Jabar, Pa. Jawa Barat!”

    “Maksud papa orang sabar disayang Tuhan. Biar papa aja yang ngadepinnya. Mama buatin papa kopi hangat. Jangan lupa, kopi yang ada manis-manisnya gitu kayak senyum papa,” kataku lantas keluar dan berdiri di beranda. Seorang lelaki berteriak keras memanggil Jupri sambil mengetuk besi pagar berkali-kali.

    “Pri! Jupri! Buka pintunya, Pri!” suaranya keras. “Pri…! Jupri!”
    “Cari siapa, Mas?” tanyaku. Lelaki yang jauh lebih muda dari usiaku itu menoleh.
    “Oh, maaf, Pak.” katanya.
    “Saya tanya Anda mencari siapa? Bukan permintaan maaf,” kataku. “Saya ndak perlu permintaan maaf Anda,”
    “Jupri, Pak.” jawab lelaki itu. “Ada ndak ya, Pak?”
    “Ya ndak tau. Koq nanya saya. Emang saya satpamnya?” Aku menyilangkan kedua tangan ke dada. “Sudah telepon Jupri?”

    “Sudah berkali-kali, Pak. Berdering. Ndak diangkat,” katanya. Aku menyungging senyum.
    “Mungkin dia ndak punya tangan jadi ndak bisa angkat telepon. Anda bisa ke sini lagi nanti,”

    “Saya harus bertemu Jupri, Pak. Penting! Saya disuruh ibunya menjemput Jupri. Adik bungsunya sedang sakit keras di Jakarta pingin ketemu Jupri,” Lelaki muda itu panik, mengelap peluh di wajah dengan punggung tangan. “Jupri harus berangkat bersama saya dengan pesawat terakhir ke Jakarta sore ini,”

    “Itu urusan Anda, bukan urusan saya. Silakan bicara nanti aja dengan Jupri. Terima kasih,” Aku lantas diam menatapnya tak berkedip. Kata orang, pasang muka garang.

    “Baik, Pak. Maaf,“ Lelaki muda itu melekatkan ujung jemari tangan kiri-kanan ke depan dada, buru-buru beranjak dari pintu pagar rumah Jupri, masuk ke mobil sedan putih keluaran terbaru. Mobil itu lantas balik kanan bergerak menjauh dari rumah Jupri pengusaha rumah kos tujuh pintu di Tanjung Nipah.

    Aku mengawasi rumah Jupri sejenak. Ke mana dia? Kenapa tak membuka pintu pagar ketika ada seseorang memanggilnya dengan suara keras gitu? Ah, terserahlah! Dia ada di mana bukan urusanku.

    Sewaktu aku hendak masuk rumah, Jupri keluar dari balik pintu. Lelaki sebayaku itu rambutnya acak-acakan. Wajah kucel. Jemari tangannya mengucek-ucek mata yang merah dan bertanya: “Tadi ada orang datang ya, Pak Pram? Dia mau apa?”

    “O, ya. Mau nyari es cendol rasa stroberi satu gerobak,” kataku sekenanya. Utami di ambang pintu geleng-geleng kepala.

    “Papa ada-ada aja ngomong gitu sama Jupri. Ya udah, Pa. Kita nggak perlu buat pagar. Biarlah rumah kita tetap begini aja seperti keinginanmu, Pa. Rumah tanpa pagar,” katanya membiarkan aku melangkah masuk rumah. Ya, seperti kata Utami; rumah tanpa pagar.

    Kalimas, Februari 2023.
    **

    Gambar: istockphoto

    Latest articles

    Explore more

    Arsip berita