26.2 C
Singkawang
More
    BerandaSosokKarakter Para Penggila Kho Ping Hoo

    Karakter Para Penggila Kho Ping Hoo

    | Penulis : Masri Sareb Putra

    Katakan Anda seorang penggila Kho Ping Hoo! Maka saya akan mafhum siapa Anda. Karakternya pasti mirip, seperti saya: sedikit suka iseng, pintar, imaginasi tinggi, pandai bergaul, pribadi memesona, banyak teman, suka memberi, kaya ide, mudah jatuh cinta, gampang terharu, greget dengan hal-hal yang tidak benar, membela ketidakadilan, sedikit liar tidak bisa dikerangkeng, lompat pagar, dan pura-pura miskin tapi sebenarnya kaya (dalam arti simbolik dan harfiah).

    Dan masih banyak lagi!

    Kho Ping Hoo. Nama legendaris di dunia persilatan-kata. Melalui matafora dan teknik story telling-nya sing ada lawan. Saya mengenalnya sejak SMA, tahun 1980-an. Meski bukan langsung. Saya mengaku, beliau guru silat kata-saya.

    Mengapa tidak dibilang guru-silat-kata?

    Hingga saat ini. Nancap di ingatan saya. Bagaimana KPH kuat dalam metafora. Ada jurus pamungkas di silat yang diciptanya. Yang bagi saya amat sangat hidup di dalam the teahtre of mind. Itulah keunggulan kata. Pembaca mengembangkan imaginasi sendiri. Tidak terbatas. Beda dengan gambar. Yang dibatasi pembuatnya. Susunan kata-kata sungguh sangat hidup dan imaginatif. Dibaca lagi dan lagi setela itu. Bisa beda!

    Itulah kekuatan kata-kata. Dan juga buku. Yang tidak mungkin diganti media lain!

    Api menjilat daun kering.

    Setan menadah persembahan.

    Tak kan bisa kulupa jurus-silat yang dimetaforakan Kho Ping Hoo. Benar-benar hidup. Sekaligus, imaginatif.

    Dia sejatinya seorang pendekar sakti mandraguna. Hanya saja disamarkannya, orang tidak tahu. Yang digunakannya hanya untuk keBAIKan saja.

    Kemarin saya bertemu dan berbincang dengan seorang penggila Kho Ping Hoo. Hingga lupa waktu. Dan kami ada ada saja yang dibicarakan. Mulai dari hal konyol, kehidupan sehari-hari, menertawai diri-sendiri, hingga yang –sebenarnya– tingkat dewa, sudah masuk ranah epistemologi. Sampai diingatkan: Mall sudah tutup, baru kami meninggalkan meja diskusi itu.

    Mana ada seorang pendekar suka membagi kamar dengan kutu buku yang tentu akan menjemukan dan bicaranya tentu soal kitab-kitab dan sajak belaka?

    Kho Ping Hoo dalam “Suling Emas”.

    Ini sebuah trik menulis luar biasa, the art of story telling, yang tidak mudah ditebak, namanya dalam teori penulisan kreatif: surprise ending. Ternyata, dia yang halus dan haus buku, menang dalam pertarungan melawan pendekar jelita Liu Lu Sian dan wajib menurunkan ilmu sastra, juga jurus mautnya yang hanya digunakan untuk kebaikan saja. Kutu buku, alias bibliofili pendekar sakti mandraguna itu: Kwee Seng.

    Seharian tidak menulis, tapi membaca. Sebab jika dituangkan terus tanpa diisi, ibarat kendi. Lama-lama isinya akan habis. Dan yang dituangkan jadi kering.

    Itulah bacaan-bacaan saya. Asmaraman mengajarkan bagaimana membuat metafora, senantiasa ada apa yang disebut “fore shadowing” sehingga tokoh atau peristiwa tidak muncul tiba-tiba. Belakangan, saya mafhum namanya “lanjaran” dalam khasanah penulisan kreatif dan itulah dalam bahasa internasional. Novel klasik mengajarkan bagaimana membuat novel secara kronologis dan tematis. Sedangkan puisi membuat kata jadi hidup dan indah.

    Itulah pula apa yang disebut proses kreatif yang oleh Blair (2005) disebut “read and emulate great writings” –membaca dan mengemulasi mahakarya. Kreatif meniru tetapi tidak plagiat atau nyontek.

    Kho Ping Hoo, My Idol

    Sudah biasa, setiap orang punya idola. Yang saya tahu, bahkan pesepaksola hebat seperti Steven Gerard -dalam autobiogarfinya– menyebut Daglish dan Scholes idolanya.

    Siapa penulis idola saya? Di luar negeri, tokoh semiotika dan penulis novel yang kemudian diekranisasikan NAME OF THE ROSE bernama Umberto Ecco. Di Indonesia, Mira Wijaya dan Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo.

    Kho Ping Hoo tercatat pengarang profesional, hanya mengandalkan hidup dan asap dapur dari menulis. Tercatat 111 judul cerita silat ditulisnya yang menapasi kehidupan CV GEMA – Mertokusuman, Solo hingga kini.

    Saya pun ingin sperti KPH: menghidupi sebuah studio (diriku dan sanak keluarga) dengan karya-karya kreasiku. “…pada suatu senja, di kala angin pengantar malam tengah sibuk mengatur mega…” sebuah puisi naratif –rasanya aku banget!

    Di atas langit ada langit! Saya baru 109 buku dan 4.000 artikel yang sudah dimuat media nasional/ internasional. Tapi KPH telah menulis lebih banyak buku. Ditambah Buku Kehidupan yang menghidupi banyak orang.

    Tepatlah “Never measure the height of a mountain until you have reached the top. Then you will see how low it was,” kata Dag Hammarskjold.

    ***

    Latest articles

    Explore more

    Arsip berita