| Penulis: Deodatus Kolek
Pemuridan dan kepemimpinan dalam Gereja sungguh unik. Karena itu, sang pemimpin disebut gembala (pastor dalam bahasa Latin). Katolik Dayak tidak menutup telinga pada suara Gereja yang diwakili oleh gembala, uskup. Mereka mendengarkan lalu berjalan bersama untuk melaksanakannya.
Pada perayaan 20 tahun episkopal Mgr. Agustinus Agus, Uskup Agung Pontianak, Kalimantan Barat. Ada satu yang spesial. Yakni terbitnya satu buku. Mengupas tuntas sang uskup agung, dalam perspektif sejarah dan Gereja masa lalu, kini, dan yang akan datang.
Dalam terang hubungan jemaat-pemimpin. Dalam kaitannya dengan Sang Kristus sebagai kepala Gereja (jemaat). Buku ini, sebenarnya, secara cukup komprehensif membahas mengenai permuridan. sekaligus kepemimpinan dalam Gereja. Di mana pemimpin adalah pelayan, atau hamba. Bukan sebaliknya: dilayani, atau memerintah.
Buku yang ditulis R. Masri Sareb Putra ini, ada judulnya lengkapnya: Audite Episcopo Tuo! Dengarkanlah Uskupmu.
Dalam buku ini terkandung lengkingan suara bagi Katolik Dayak. Tersirat pesan bahwa generasi kini dan nanti menilik sejarahnya sendiri dan mencari jalan terbaik untuk Gereja dan negara. Katolik Dayak tidak menutup telinga pada suara Gereja yang diwakili oleh gembala, uskup. Mereka mendengarkan lalu berjalan bersama untuk melaksanakannya.
Ada satu pertanyaan dari judul buku yang bernada perintah ini yakni “Apakah uskup tidak didengar?” Minimal ada dua jawaban.
Pertama uskup didengar oleh imam dan umatnya. Ajaran-ajarannya tidak sia-sia. Malahan suara uskup selalu dinanti-nanti. Umat mengharapkan suara Gereja menuntun peziarahan hidup. Buku ini menegaskan bahwa suara Gereja melalui uskup terus-menerus harus didengar.
Kedua, bisa jadi uskup tidak didengar. Dia tidak didengar karena ketidaksepahaman baik dengan imam maupun umat. Dia tidak didengar bisa jadi karena berbeda suku, tarekat, atau konsep. Bisa juga dia tidak didengar kaum yang merasa diri “elite” karena membahayakan kedudukan mereka sebab suara uskup sangat berpengaruh.
Berkaitan dengan yang kedua kita sebagai umat Katolik perlu menelisik kembali paham yang berlawanan dengan uskup. Semangat sebagai Dayak perlu ditelaah lagi. Di banyak tempat budaya Dayak akrab dengan ketaatan kepada pemimpin. Konon, kepala-kepala suku Dayak adalah orang-orang sakti. Mereka dihormati dan apabila mengeluarkan titah seluruh masyarakat mendengarkan dan melaksanakan. Begitulah budaya itu tidak ditinggalkan saat uskup memimpin kita.
Saat uskup mengeluarkan surat gembala, surat edaran, paham-paham membangun, kita mengikuti dan berjalan bersamanya. Memang dalam kepercayaan dengan Gereja uskup menunaikan tugas mengasuh Gereja khusus yang dipercayakan kepadanya (Christus Dominus, 3). Merekalah yang menjadi rujukan untuk mengikuti Kristus dalam Gereja-Nya.
Apabila Masri Sareb dalam buku itu menulis kembali judul dari artikelnya pada saat Mgr. Agus terpilih menjadi uskup Sintang yakni Uskup Baru, “Mesias” Baru maka yang menjadi harapannya adalah dalam Gereja Katolik umat merasakan sebuah pembebasan. Gereja bukan hadir untuk membebani, melainkan membebaskan. Ketaatannya yang tidak diragukan dengan Tahkta Suci Vatikan gandeng dengan konteks yang mengitarinya.
Beban medan pastoral yang tidak mudah kerap menggiring kebijakan-kebijakan praktis kaum agamawan untuk membebani umat. Hal yang sederhana yang semestinya bisa diatasi dengan mudah bisa jadi dipersulit. Kegairahan untuk mengikuti Yesus yang “datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Mat 20:28) luntur. Dari harapan indah akan adanya pembebasan bagi umat kecil, sederhana dan tersingkir bisa saja cacat dan mengecewakan hanya karena kelalaian.
Walaupun berbagai cacat yang pernah ada dalam tubuh Gereja di tanah ini, mendengarkan gembala dan terus berharap pada harapan indah jangan pernah pudar. Kita lalu memahami bahwa peziarahan Gereja adalah perjuangan terus menerus umat bersama hirarkinya.
Kita tidak dapat berdiri sendiri tanpa hirarki dan hirarki pun juga demikian. Kerja sama membangun mulai dari fondasi hingga terbangun sebuah bangunan megah tidak dapat dielak. Tanpa ada kerja sama dan rasa memiliki hampir mustahil sebuah bangunan indah dan megah dapat berdiri.
Hidup Yesus yang dikenal dengan kuat kuasa-Nya juga menunjukkan akan adanya kerja sama yang baik dalam sebuah tim. Ia memanggil keduabelas murid untuk diutus-Nya. Yesus mengutus mereka untuk memberitakan kabar baik.
Demikianlah tidak seorang pun yang ingin mendengar kabar buruk. Kabar gembira selalu dinanti.
Di tanah Borneo. Orang-orang kecil selalu rindu akan kabar itu.
Mereka siap mendengarkan.
“Bersabdalah ya, Tuhan, hamba mendengarkan!”
***