| Penulis R. Masri Sareb Putra
Kisah rumah panjang Kopar, Pusat Damai, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat yang ditinggalkan. Bagus yang mana, menurut Anda? Rumah panjang ditinggali ataukah ditinggalkan?
Saya miris. Ketika menulis feature ini.
Bukan alang kepalang! Tentang jantung adat budaya suku kami. Harta karun tak terbilang, yang terancam akan musnah. Warisan nenek moyang nirtaksir yang bakal lenyap. Yakni rumah betang, yang ditinggalkan.
Akan ada kisah tentangnya. Ketika suatu masa. Hidup komunal menjadi tradisi yang diwarisi turun-temurun. Tentu saja, yang masih mentradisi dan ditinggali. Misalnya, rumah betang Ensaid di Sintang. Dan rumah panjai Sungai Utik di Putussibau.
Selain rumah panjang Saham, dekat Pahauman, karena berpenghuni. Hingga detik ini.
Rumah panjang orang Daya masa lalu. Dokpri.
Sementara rumah panjang Kopar, dekat Bodok, Kab. Sanggau, Kalimantan Barat ini tinggal kenangan. Sayang sekali! Belum ada kehendak untuk memugarnya. Apalagi menjadikannya destinasi wisata. Padahal nilai di baliknya luar biasa.
Keluarga Dayak yang hidup dan tinggal dalam budaya rumah panjang berbela rasa. Saling bebagi. Mereka mefat (Krayan), bepisuh (Dayak Bidayuh). Secara harfiah, mefat dan bepisuh berarti: membagi, berbagi, saling memberi rezeki.
Saya sebenarnya ada rasa enggan untuk menulis rumah-betang yang telah dimodifikasi secara modern. Yang tentu telah hilang maknanya secara hakiki. Sebab tak-berpenghuni sama sekali.
Jadi, tak mencerminkan kehidupan asli orang Dayak di sana, dengan segala nilai adat budayanya. Hanya sesekali saja orang berdarma-wisata ke sana. “Pigi tengok-tengok,” kata orang Malaysia. Atau akan menulisnya juga, tapi belakangan saja. Misalnya, rumah radakng di Pontianak yang kerap jadi latar orang bikin video segala macam adegan. Di Palangka Raya juga ada huma betang. Sebab itu, diberi ruang tulisan ini akan berseri-seri. Bukan hanya satu.
Baca juga: Mengenal 7 Dimensi Rumah Panjang Orang Iban
Dalam kehidupan orang Dayak. Rumah panjang bukan sekadar tempat tinggal. Bela-rasa adalah penciri utama kehidupan di rumah betang. Nilai budaya tradisonal, yang kini mulai pudar.
Sejak re-grouping desa di Indonesia. Tak terkecuali, bahkan barangkali itu menjadi sasarannya! Penduduk dan masyarakat Dayak cukup berbeda bila dibandingkan sebelumnya. Terjadi perubahan sosial. Terutama dalam hal persebaran dan tempat tinggal. Sebagai ekses ikutannya, relasi sosial dan nilai kebersamaan pun sirna.
Pada zaman dahulu kala, manusia Dayak memang nomaden. Namun, sejak sirka ujung abad 18 hingga awal dekade 1970-an. Orang Dayak telah menetap. Mereka tinggal di rumah betang (rumah panjang). Jika ada keluarga baru, tinggal menambahkan bilik ke belakang. Bukan ke samping.
Jika diperhatikan, model pemukiman terutama KPR-BTN zaman sekarang tidak ubahnya rumah panjang orang Dayak.
Diakui atau tidak. Itu mengadopsi. Setidaknya, terinspirasi oleh model rumah panjang. Dari ujung ke ujung, tak-ada putusnya. Bersambung. Hanya dipisah oleh pintu. Orang Iban mengatakannya: bilek. Atau bilik. Atau orang Bidayuh mengatakanya: pintu.
Sedemikian rupa, sehingga kepala keluarga disebut dan dihitung dengan: berapa pintu?
***
Bionarasi
R. Masri Sareb Putra, M.A., dilahirkan di Sanggau, Kalimantan Barat pada 23 Januari 1962. Penulis Senior. Direktur penerbit Lembaga Literasi Dayak (LLD). Pernah bekerja sebagai managing editor dan produksi PT Indeks, Kelompok Gramedia.
Dikenal sebagai etnolog, akademisi, dan penulis yang menerbitkan 109 buku ber-ISBN dan mempublikasikan lebih 4.000 artikel dimuat media nasional dan internasional.
Sejak April 2021, Masri mendarmabaktikan diri menjadi Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (PPM), Institut Teknologi Keling Kumang.