| Penulis: R. Masri Sareb Putra, M.A.
Apa yang ditulis orang luar, terutama pelancong dan antropolog barat, adalah sudut pandang mereka. Yang memandang orang Dayak “dari persepsi dan pengetahuan penulisnya”.
Mengapa Kompeni Hindia Belanda, pada 1894 di Tumbang Anoi, menghentikan praktik Hakayau, Habunuh, Hatetek, dan Hajipen (Ngayau) di kalangan orang Dayak? Sementara mereka (VOC) sibuk menjajah dan memenggal kita, sepanjang masa?
Ya, mengapa?
Tentu ada sebabnya. Pada tulisan sebelumnya, dijelaskan. Tidak mudah kompeni menguasai orang Dayak. Banyak sebabnya. Maka pertanyaan yang jawabannya cukup memilukan, sekaligus memalukan ini, pantas diajukan.
“Why do the Dutch stop us making war when they are having wars all time”, seperti diungkapkan Lencau dari Lidung Payau sebagaimana dicatat Blair dan Helmi (1991: 123).
Menohok sekali. Setidaknya, bagi saya. Pertanyaan. Sekaligus, pernyataan bernada gugatan yang dilontarkan Lencau itu. Ya, mengapa? Apa sebab kompeni Hindia Belanda menghentikan praktik ngayau orang Dayak, sedangkan mereka sendiri memerangi kita?
Hakikat ngayau
Banyak orang luar mispersepsi. Hanya menangkap tampak luarnya saja. Padahal, ngayau itu sakral. Tidak sembarangan! Harus ada alasan yang kuat. Ada 4 alasan. Saya menambahkan satu. Jadi, ada lima sebab orang Dayak ngayau.
Harfiah “ngayau” dari kata “yau” mencari, memburu (Ukur, 1971). Bahasa kami, Dayak Bidayuh, bayang-bayang, ayau, menghantui, membayang-bayangi, mencari, memburu.
Apa yang ditulis orang luar, terutama pelancong dan antropolog barat, adalah sudut pandang mereka. Yang memandang orang Dayak “dari persepsi dan pengetahuan penulisnya”. Termasuk soal ngayau. Keliru besar mereka itu. Dikira hanya memenggal kepala. Padahal, motif utamanya: pertahanan diri suatu wilayah/ klan.
Faktor-faktor dan motif-motif apa sajakah yang mendorong etnis Dayak melakukan praktik pengayauan? Artikel ini coba menjawabnya. Berupaya mencari sensus plenior. Atau dalam dunia akademik disebut true conditions lewat teks yang ditulis para pelancong dan antropolog barat. Lalu mengoreksi. Dan mendudukkan perkaranya. Banyak aspek budaya Dayak yang harus ditulis orang Dayak. Dari dalam. Sebab yang ditulis orang (luar) kadang sarat dengan bias. Hal itu karena vorurteil. Telah ada pengalaman serta pengetahuan yang mewarnainya.
Tinjauan hermeneutis tersebut secara saksama memaparkan bagaimana para penulis di luar etnis Dayak membingkai penduduk asli pulau Borneo tersebut, sehingga membentuk citra sebagai etnis pengayau atau headhunter. Padahal, sejarah mencatat bahwa Dayak bukanlah suku bangsa terakhir di Nusantara yang melakukan praktik headhunting. Tapi suku lain, di salah satau pulau besar di Indonesia, selain Kalimantan.
Saunders (1993) melihat bahwa laporan-laporan para pelancong Barat ke Borneo luar biasa pengaruhnya. Citra sebagai suku bangsa yang primitif melekat kuat dalam benak dunia luar sebagai dampak langsung (direct impact) maupun sebagai akumulasi impak (cumulative impact) dari publikasi tersebut.
Saunders kemudian menunjuk sejumlah penulis, seperti: Belcher, Keppel, Hugh Low, dan Frank Marrat yang turut membangun dan menyebarluaskan citra orang Dayak sebagai suku bangsa primitif, pemburu kepala manusia, hidup tidak sehat karena tinggal di rumah panjang, tidak berpendidikan, dijajah berlapis-lapis.
Salah satu buku yang secara luas mencitrakan dan menyebarluaskan Dayak sebagai pemburu kepala manusia adalah karya Bock, The Headhunters of Borneo yang diterbitkan di Inggris (1881).
Kemudian, Miller (1942) melalui Black Borneo semakin mengukuhkan citra Dayak sebagai suku bangsa pengayau. Menurutnya, praktik memburu kepala manusia hanya bisa dijelaskan dalam kerangka kekuatan supranatural yang oleh orang Dayak kekuatan tersebut diyakini berada dalam otak atau bagian kepala manusia (Miller, hlm. 121).
Selanjutnya, McKinley (1976: 95, 124) berusaha memahami ngayau lewat semiotika, dalam hal ini struktur dan makna ritual yang berkaitan dengan praktik pengayauan. Freeman (1979: 234) yang meneliti praktik ngayau di kalangan Dayak Iban mencatat bahwa ritual paling penting dalam upacara perburuan kepala musuh ialah pada saat ngelampang, yakni memotongnya menjadi bagian-bagian kecil.
Upacara ritual ini merupakan representasi atau kenangan akan Singalang Burong, dewa perang orang Dayak, yang melakukan hal yang sama dahulu kala. Dengan memotong-motong kepala menjadi bagian kecil, akan mengalirkan benih-benih kehidupan yang apabila ditaburkan nantinya akan tumbuh menjadi sosok manusia. Kepercayaan yang sama juga terdapat pada etnis Dayak di Malaysia, mereka membuat patung Tenyalang menjelang Begawai Kenyalang (Morrison, 1957).
Pencitraan “wild”/liar oleh penulis barat sangat memengaruhi stereotip tentang etnis itu kemudian. Inilah lukisan hasil imaginasi pelukis barat mengenai kehidupan Dayak Punan yang diberi judul “Wild people at home” (Blair dan Helmi, 1991: 76). Perhatikan dengan saksama judul tersebut yang memfonis orang Dayak sebagai “manusia liar yang tinggal di rumah” (sederhana).
Asal usul kata “ngayau:, umumnya terdapat kesepakatan di kalangan suku Dayak. Namun, kapan dimulai dan bagaimanakah sejarahnya, agaknya masih simpang siur dan sering muncul dalam berbagai versi. Hal ini disebabkan belum ada studi dan catatan sejarah mengenai asal mula ngayau secara detail dan kronologis. Hanya ada catatan mengenai kesepakatan bersama seluruh etnis Dayak Borneo Raya untuk mengakhirinya. Ini terjadi pada pada 22 Mei – 24 Juli 1894, ketika diadakan Musyawarah Besar Tumbang Anoi di Desa Huron Anoi Kahayan Ulu, Kalimantan Tengah.
Selain empat motif. Masih ada motif lain di balik ngayau –dan ini jauh lebih penting— yakni: upaya atau mekanisme mempertahankan diri. Boleh dikatakan bahwa motif mempertahankan diri ini lebih sering mengemuka daripada motif-motif lain, terutama pascaperjanjian Tumbang Anoi.
Ngayau, sebagaimana juga mangkok merah , tidak boleh dilakukan sembarangan dan harus melalui mufakat. Harus ada alasan kuat dan masuk akal untuk ngayau. Dari penuturan dan kesaksian para tokoh dan pelaku ngayau yang masih hidup hingga saat ini, dapat disimpulkan terdapat empat alasan mengapa etnis Dayak mengayau.
Secara tertulis, tata cara mengedar dan memaklumkan pekik perang ini diatur dalam Hukum Adat salah satu subsuku Dayak Jangkang, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat dalam Bab 41 tentang “Mangkok Merah”.
Dari pasal-pasal hukum adat mengenai “mangkok merah” dan ngayau di atas dapat ditarik simpulan bahwa haruslah ada argumen yang rasional atau dalam bahasa hukum adat setempat “alasan yang kuat, yakni alasan yang menyangkut kepentingan umum serta berdampak luas pada tatanan sosial yang hakiki“ untuk memaklumkan pekik perang.
Jalan untuk sampai pada perang itu sendiri tidak mudah, dirapatkan, dipertimbangkan masak-masak untung rugi atau baik buruknya. Sebaliknya, jika setelah dipertimbangkan tidak ada alasan yang cukup kuat dan masuk akal untuk itu, maka seseorang atau kelompok yang mengedarkan “mangkok merah” justru dikenakan tindak hukum tentang “Pomomar Darah” karena berbohong kepada publik.
Dengan demikian, ngayau tidaklah merupakan tindakan yang sembarangan, apalagi spontan. Ngayau menjadi tindakan bersama etnis Dayak, karena itu, disebut juga dengan “tradisi”. Tentu saja, untuk memahami true conditions dari ngayau, perlu diselami apa yang menjadi motifnya.
Lontaan (1975: 533-537) mencatat setidaknya terdapat empat
motif ngayau.
Pertama, melindungi pertanian.
Kedua, mendapatkan tambahan daya (rohaniah).
Ketiga, balas dendam.
Keempat, sebagai penambah daya tahan berdirinya bangunan.
Sesungguhnya, masih ada motif lain di balik ngayau –dan ini jauh lebih penting— yakni upaya atau mekanisme mempertahankan diri. Boleh dikatakan bahwa motif mempertahankan diri ini lebih sering mengemuka daripada motif-motif lain, terutama pascaperjanjian Tumbang Anoi. Motif inilah yang lebih mengemuka dari peristiwa konflik penduduk lokal Kalimantan dengan etnis pendatang.
**
Apa yang dipaparkan di atas hanya berlaku dalam situasi normal. Akan tetapi, ngayau lain lagi. Mitos lain ialah bahwa setiap kali membangun jembatan atau membangun betang, pondasinya akan kokoh kuat apabila ada tumbalnya. Seperti digambarkan Amil Jaya (2009) dalam novel berikut ini.
“This longhouse needs human blood. The foundation pillar
cannot be created without the sacrifice,” said Chief Kanyau, referring to the
ngayau ritual.
“But this task of obtaining humans for the sacrifice is going to be very
difficult,” exclaimed his assistant, Tuai Rumah Janting. “Our warriors are
still not trained foe battle.”
“I have pondered upon the matter and appointed Lasa Kulan to lead this
headhunting team. I am convinced that he is the best warrior to perform the
task.”
All eyes focused on the sturdy and handsome Lasa Kulan. He smiled while
glancing at Kunang, Chief Kenyau’s daughter. Lasa Kulan’s smile widened as he
puffed out his chest, displaying his handsome body while firmly holding his
bakin in one hand and the hilt of the ilang sheathed at his waist in the other.
The smile was still on his lips when Kumang Raja returned. However, the smile
soon faded along with the memory of Kunang, his sweetheart.
“They are Melanau,” Kumang Raja reported.
“How many of them are there?” asked Lasa Kulan calmly.
“Non many – only seven.”
“Good, we can easily defeat them,” said Lasa Kulan, patting his companion on
the shoulder. (Amil Jaya, 2009 : 5-6).
Kisah heroik para pahlawan Dayak di medan perang menumpas musuh dan hikayat mengenai ngayau dikisahkan hampir semalam suntuk pada upacara gawai (panen padi). Tujuannya ialah agar pendengar terkesan, tersentuh perasaannya, dan akhirnya terdorong untuk melakukan seperti yang dilakukan nenek moyangnya. Citra lelaki Dayak yang gagah perkasa dan disukai wanita pun dibentuk dan diturunkan dari kisah heroik dari ngayau. Tujuannya agar setiap lelaki Dayak gagah berani dan rela mati demi mempertahankan tanah leluhurnya.
Para kstaria Dayak yang berangkat dan pulang ngayau selalu dilepas dan disambut dengan meriah. Begitu rombongan turun ngayau dan meninggalkan kampung, mereka dilepas oleh keluarga dan para wanita dengan upacara khusus.
Sambil minum tuak, menyanyi, dan menari, para kstaria akan berteriak menyerukan pekik perang. Dayak Jangkang menyebutnya “nyoru somangat”, Dayak Kanayant menyebutnya “basaru samangat”, tetapi lazimnya disebut dengan tariu.
Itulah makna hakiki (true conditions) di balik mitos ngayau. Para penulis Barat dan penulis dari luar etnis Dayak pada umumnya –karena tidak memiliki apa yang oleh Gadamer disebut dengan vorurteil— telah keliru menangkap makna ngayau.
Peneliti dan penulis Dayak wajib menulis dan mempublikasikan framing itu. Saya telah banyak melakukannya. Orang pun jadi mafhum. Bahwa “apa yang ditulis” secara kumulatif membentuk persepsi masyarakat. Dan itulah yang dianggap benar, sejauh belum ada yang menyanggah. Atau mempertontonkan nova (kebaruan) yang sebaliknya.
Apa yang ditulis orang luar, terutama pelancong dan antropolog barat, adalah sudut pandang mereka. Yang memandang orang Dayak “dari persepsi dan pengetahuan penulisnya”. Termasuk soal ngayau. Keliru besar mereka itu. Dikira hanya memenggal kepala. Padahal, motif utamanya: pertahanan diri suatu wilayah. klan.
Bagaimana cumulative impact dan framing itu dianggap benar, akan ditulis kemudian.
***