| Penulis: Dr. Afri ST. Padan
Manusia Dayak Krayan sudah bersawah sejak zaman semula jadi, dengan menggunakan kerbau. Praktik ini terjadi di Krayan dan Kalimantan Utara
Pada umumnya, orang mengetahui bahwa ladang adalah mata cocok tanam padi utama suku bangsa Dayak. Hal itu benar adanya. Dan berlaku pula di seantero Kalimantan, di mana manusia Dayak tinggal, hidup, dan berada.
Akan tetapi, hanya sedikit yang mafhum bahwa sawah adalah juga kultivasi padi yang dipraktikkan orang Dayak terutama di dataran tinggi Borneo, khususnya Pulau Sapi, Kab. Malinau, Kalimantan Utara.
Dari manakah keterampilan olah-sawah itu didapat? Sudahlah pasti, bukan dari para transmigrasi dari Jawa atau para pendatang dari mana pun, melainkan dari nenek moyang setempat.
Manusia Dayak Krayan sudah bersawah sejak zaman semula jadi, dengan menggunakan kerbau. Praktik ini terjadi di Krayan dan Kalimantan Utara pada umumnya, di mana padi adan menjadi terkenal dan dikenal sebagai produksi lokal Krayan. Oleh sebab itu, menarik untuk menulis teknik kultivasi padi oleh manusia Dayak di Pulau Sapi, agar orang mafhum bahwa cocok tanam sawah ini juga dikenal masyarakat Dayak sejak zaman baheula.
Praktik kearifan lokal dalam bercocok tanam padi sawah di Kabupaten Malinau masih dilestarikan. Pelestarian itu melalui penggunaan sarana prasarana pertanian dan musim tanam yang menjadi warisan dari generasi ke generasi. Pertanian padi sawah di Kecamatan Mentarang Kabupaten Malinau masih melestarikan kearifan lokal dalam bercocok tanam dengan penggunaan bibit padi unggul lokal yang terbukti masih mampu memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga secara mandiri/
Petani ada yang mulai mengikuti perkembangan pertanian modern terutama mekanisasi pertanian dan teknologi penanamannya. Sedemikian rupa, sehingga terjadi kombinasi yang baik antara penerapan kearifan lokal diikuti dengan teknologi pertanian modern dalam bercocok tanam sesuai peruntukannya.
Praktik kearifan lokal dalam bercocok tanam padi sawah belum menunjukkan kontribusi yang signifikan bagi peningkatan produktivitas padi di Kabupaten Malinau. Namun memiliki potensi yang besar untuk dapat dikembangkan sehingga mampu menjadi penopang utama bagi ketahanan pangan daerah.
Pola bercocok tanam padi sawah di Desa Pulau Sapi Kecamatan Mentarang mencerminkan kekuatan untuk melestarikan alam dan memenuhi kebutuhan pangan secara mandiri sebagai ekspresi aspek ekonomis dari usaha pertanian di mana secara kearifan lokal desa tersebut sudah mampu untuk menyediakan bahan pangan yang memadai secara umum.
Aktivitas tahapan budidaya padi sawah secara tradisional jika dikolaborasikan dengan perkembangan pertanian modern melalui teknik SRI (system of rice intensification), sebagai salah satu metode pertanian yang kembali mempertahankan kelestarian lingkungannya.
Keunggulan dari segi produksi dengan lebih menekankan penggunaan bibit tanaman dan pupuk yang organik dan pestisida yang bersumber dari bahan nabati serta menggunakan cara perlakuan mulai dari pembibitan, penanaman dan perawatan tanaman secara efisien dan produktif.
Hal itu dapat meningkatkan produksi dan produktivitas pangan dengan tetap menjaga ekosistem yang ada dan mereduksi nilai-nilai praktik kearifan lokal yang tidak sesuai perkembangan jaman dengan mengekstrakkannya menjadi formula pengembangan pertanian organik modern agar mudah diintroduksi, diadopsi, dilestarikan dan bermanfaat.
Diketahui pula adanya faktor pendukung yaitu faktor pendukung internal dan pendukung dari eksternal. Faktor pendukung internalnya adalah kemauan masyarakat petani untuk tetap melestarikan tata cara bercocok tanam dan memilih benih lokal unggul yang dianggap lebih tangguh menghadapi tantangan iklim, hama dan penyakit.
Sedangkan faktor pendukung eksternalnya adalah dukungan pemerintah daerah melalui pendampingan petugas penyuluh pertanian dan penerbitan kalender musim tanam sesuai kondisi alam dan iklim lokal. Selain itu, ditemukan juga faktor penghambat dari praktik kearifan lokal dalam bercocok tanam padi sawah.
Faktor penghambat internalnya adalah masyarakat mulai meninggalkan budaya bergotong-royong (felibal) yang dinilai mulai tidak efisien dan mengarah kepada sistem kapitalis.
Sedangkan faktor eksternalnya adalah belum adanya kebijakan standarisasi upah kerja bidang pertanian dan kurangnya kuantitas dan kualitas PPL karena minimnya dukungan anggaran daerah.
Praktik kearifan lokal dalam bercocok tanam padi sawah guna mendukung ketahanan pangan daerah harus dirumuskan dalam sebuah model yang berbasis empiris sehingga dapat memiliki pola tindakan yang sesuai dengan kondisi di lapangan. Pengembangannya harus dilakukan secara terintegrasi dan berkesinambungan yang dilakukan oleh semua stakeholders daerah.
Pelestarian kearifan lokal bercocok tanam padi sawah harus dijadikan prioritas utama dalam isu pertanian oleh pemerintah daerah dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat, mulai dari pelaku utama (petani), pelaku usaha pertanian dan pemangku kepentingan (Dinas/Kantor/Instansi terkait, Gereja, Lembaga Adat, Perguruan tinggi, lembaga pemerhati lingkungan dan sektor swasta). Sedemikian rupa, sehingga kolaborasi kearifan lokal dengan pengetahuan teknologi pertanian dapat bersinergi dan menjadi solusi dalam meningkatkan dan menjaga ketahanan pangan daerah yang berkelanjutan.
***
*) Penulis kini mengemban amanah sebagai Kepala Dinas Pertanian, Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara.