| Penulis: Paran Sakiu
Suku Dayak Kanayatn memiliki kebudayaan upacara “Baulakng”. Baulakng dapat kita samakan dengan perayaan ulang tahun pernikahan emas. Sekalipun tidak sama persis.
Baulakng berarti melakukan pengulangan pernikahan. Pengulangan pernikahan tidak saja pestanya yang besar tetapi adatnya juga besar. Bahkan lebih besar dari saat pernikahan awal.
Ulang tahun pernikahan emas ala Dayak Kanayatn tidak di patok harus lima puluh tahun setelah menikah. Mereka mengadakan Baulakng setelah dinyatakan memenuhi berbagai macam syarat.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi tidak sesederhana yang kita bayangkan. Sebagaimana layaknya pesta ulang tahun pernikahan emas yang dirayakan pada umumnya di kota-kota besar.
Syarat perayaan ulang tahun pernikahan emas pertama-tama adalah niat. Suami-Istri dari sejak awal pernikahan sudah meniatkan untuk mengadakan Baulakng di kemudian hari.
Niat itu mungkin saja muncul saat sekian tahun setelah mereka melangsungkan pernikahan. Apa yang diniatkan setelah sekian puluh tahun kemudian barulah diwujudkan.
Selain niat, harus ada kesanggupan. Niat ada tetapi kesanggupan dari segi finansial tidak ada maka Baulakng tidak akan pernah terjadi. Biaya yang dikeluarkan untuk perayaan ini dua kali lipat bahkan bisa lebih.
Jika saat pesta pernikahan memotong tiga ekor babi maka saat baulakng harus menyediakan enam ekor babi bahkan lebih, demikian juga dengan ayam, cucur dan peraga adat lainnya.
Tempayan yang disebut “Jampa” harus ada dua. Di sebut tempayan jampa karena ukurannya besar, tingginya, lebih tinggi dari tempayan biasa. Demikian juga dengan motifnya. Pesta Baulakng bukan main-main. Biaya yang besar inilah yang membuat pesta Baulakng jarang dilakukan.
Mungkin karena besarnya biaya, maka baulakng itu dinyatakan bersifat keturunan. Artinya dilakukan hanya oleh mereka yang memiliki “trah” yang kakek moyangnya pernah melakukannya.
Sebenarnya tidak demikian. Kebetulan nenek moyangnya orang kaya dan mau memenuhi niatnya. Keturunannya juga kaya dan ada niat, maka melekatlah bahwa baulakng hanya berdasarkan “trah” tadi. Wajar-wajar saja pelabelan yang demikian.
Ada lagi yang harus dipenuhi yakni semua anak sudah menikah. Cucunya juga sudah banyak. Lebih lagi dengan adanya kehadiran cicit. Maka Baulakng menjadi sesuatu yang istimewa. Istimewa karena pasangan yang Baulakng dapat melihat keturunannya.
Baulakng penting dilakukan oleh mereka yang akan memangku adat seperti Timanggong, Pasirah paraga, Bide Binua, Pangalangok, Tuha Tahutn, dan pemangku adat lainnya. Wajib hukumnya baulakng.
Zaman sekarang yang penting dia mengetahui hukum adat dan segala macam ritual maka diangkatlah sebagai Timanggong. Baulakng dianggap tidak terlalu penting.
Sebelum mengadakan Baulakng, maka semua sanak Famili dari kedua belah pihak harus di datangi. Tidak dikenal dengan menggunakan surat undangan. Tidak dikenal juga melalui perutusan-perwakilan. Siapa yang mau mengadakan upacara Baulakng wajib datang ke rumah sanak famili. Mengundang mereka untuk hadir.
Kehadiran sanak famili ini penting. Mereka akan tahu dengan pasti mana famili jauh mana famili dekat dengan adanya penutur keluarga. Penutur keluarga ini yang akan menyebut secara berurut.
Dari moyang mereka hingga kepada keturunan yang sekarang. Dan Penutur keluarga inilah yang akan menyebut dan membagi-bagikan potongan maupun irisan daging babi dengan segala anggota tubuh babi.
Penuturan ini dikenal dengan sebutan “babagi pirikng”. Berbagi Pirikng dalam baulakng tidak hanya untuk sanak Famili melainkan semua perangkat adat mendapatkan bagiannya.
Misalnya Timanggong, Pasirah paraga, Bide Binua, Pangalangok, Tuha Tahutn, tukang sunat, tukang membantu melahirkan. Kalau dalam pesta adat biasa para perangkat adat tidak mendapat “ pirikng” tetapi dalam baulakng mereka mendapatkannya.
Baulakng tidak harus dilakukan di rumah laki-laki dan di rumah perempuan. Tidak seperti pernikahan ala Dayak Kenayatn (lihat: Pernikahan Ala Dayak Kanayatn). Mereka melangsungkannya di rumah dimana mereka hidup dan tinggal bersama.
Baulakng merupakan upacara adat boleh dilakukan boleh tidak. Tidak seperti upacara penamaan anak yang baru lahir, upacara sunat, upacara pernikahan dan upacara kematian.
Baulakng diadakan karena telah memenuhi unsur-unsur sebagaimana yang telah disebutkan tadi. Lebih dari itu, Baulakng merupakan ungkapan ucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Telah memberkati, menyertai dan memberikan umur panjang sehingga yang baulakng dapat melihat anak, cucu bahkan cicitnya.
Untuk sekarang ini upacara atau pesta Baulakng semakin langka. Dulu masih dilakukan di daerah Bilayu, Kabupaten Landak. Itu pun siklusnya puluhan tahun.
Di beberapa daerah sama sekali tidak ada lagi pelaksanaannya. Bahkan mendengar cerita Baulakng dan Istilah Baulakng pun mungkin baru diketahui setelah membaca tulisan ini. Mengapa demikian? Perlu penelitian lebih lanjut.
Salam budaya!
Sumber gambar: https://cdn.greenvelope.com/blog/wp-content/uploads/image9-850×624.png
***
Bionarasi
Paran Sakiu dilahirkan di Mentonyek pada 19 Maret 1971. Guru PAK di SMPK Rahmani, pegiat literasi.
Aktif menulis untuk www.detikborneo.com.
Menulis dan menerbitkan buku:
1. Menimba dari Sumur Yakub (Tangerang, 2019)
2. Kumpulan Cerpen: Hari Terakhir (Tangerang, 2020)
Menikah dengan Okseviorita dan telah dikarunia tiga orang anak, menetap di penjaringan, Jakarta Utara.