| Penulis: E. Widiantoro
Awal Desember hampir saban hari Tanjung Nipah di guyur hujan. Kadang sebentar hanya sepuluh dua puluh menit. Kadang lama. Bisa seharian. Semalaman. Deras. Sungai meluap. Tanjung Nipah banjir lagi. Parah! Genangan air mencapai satu meter padahal tahun lalu hanya sebetis orang dewasa. Merendam jalan. Pasar. Rumah. Sekolah. Ladang. Ya, Allah!
Dulu semasa aku kecil tak ada cerita banjir di Tanjung Nipah. Baru ada dua tahun lalu setelah umurku tiga puluh tujuh. Lima belas tahun jadi pekerja perkebunan kelapa sawit milik seorang bos di Jakarta, namanya Perdana. Luas kebun pun lumayan. Sekitar sebelas ribu hektar, masuk wilayah lima kampung lain. Bukit-bukit di hulu Tanjung Nipah yang semula tertutup hutan lebat perlahan berganti hamparan hijau daun kelapa sawit. Hilang sudah pohon belian, bengkirai, meranti, jelutung dan banyak pohon lain. Semua tinggal cerita untuk anak cucu tanpa pernah tahu seperti apa rupa pohonnya.
Aku dan orang-orang di hilir Tanjung Nipah harus mengungsi ke tempat yang tak terkena banjir, lapangan bola Dusun Tengah. Di situlah, sejak kemarin kami tinggal sementara, di tenda yang kami didirikan bersama relawan dan beberapa tentara. Ada tenda kecil, ada pula tenda besar dan tebal warna hijau lumut yang biasa dipergunakan oleh kalangan militer. Tenda besar itu jadi tenda induk, biasa disebut pos komando atau posko.
Orang-orang istirahat sore di situ. Duduk-duduk. Ngobrol. Kalangan perempuan sibuk di dapur umum. Memasak. Menyiapkan hidangan untuk makan malam bersama. Di sudut lain dalam tenda beberapa orang menerima donasi secara terbuka. Semuanya dicatat; makanan, uang dan barang seperti bantal, selimut, tikar, pun tenda.
Ya, tenda telah didirikan di tengah lapangan bola. Jumlahnya sebelas, ukuran tiga kali empat meter. Warna biru tua. Di atap tenda terdapat garis horisontal dari kain putih lebarnya kira-kira dua puluh centi meter. Ada gambar salib dan tulisan ungu: Gereja Keluarga Nazareth. O, tahulah aku. Tenda itu bantuan pihak gereja.
Jelang magrib ketika banyak orang sedang berada di posko, berjarak dua ratus meter dari tengah lapangan bola, sekelompok orang bertampang garang tiba-tiba datang. Mereka berteriak marah. Bergerak cepat. Membuka paksa garis kain putih di atap tenda. Aku yang semula sekadar berjalan usai membersihkan tubuh dan berwudhu terkejut. Panik. Tak bisa mencegah tindakan mereka. Kalah jumlah. Tanganku dicekal erat dua orang. Aku hanya teriak berulang-ulang: “Hei, jangan merusak tenda! Aku mohon. Tolonglah! Hei! Ya Allah…!” Teriakanku tersapu angin. Tak digubris. Garis putih di tenda tetap dibuka paksa oleh mereka. Habislah!
Atap tenda benar-benar koyak. Rusak. Ketika turun hujan dalam tenda pasti basah. Same gak bual! Aku sungguh tak habis pikir. Orang-orang itu, tak ada satupun yang kukenal. Kenapa harus marah merusak tenda lalu pergi begitu saja?
Aku terengah-engah lemas duduk di atas hamparan rumput tanah lapang merasakan sakit di bahu, lengan kiri dan kanan. Kuat benar mereka mencekal tanganku tadi. Dari tenda posko orang-orang berlari ke arahku, ke jejeran tenda yang tak lagi berdiri sempurna. Sebagian karena talinya dipasak kendor. Ada pula tenda yang hendak tumbang, besi tiang penyangga telah miring tak beraturan.
“Kalian tadi ke mana ketika mereka datang merusak tenda?” kataku kesal menatap satu-satu mereka yang datang.
“Kami tahu, melihat saja.” jawab Asmad lelaki berjanggut lebat. Kopiahnya bulat. Tinggal di hilir pula, tak jauh dari rumahku.
“Hhhaahh? Melihat saja? Kalian biarkan kekerasan di depan mata?” Aku heran, bertambah-tambah kesal.
“Biar sajalah, Cik. Untuk apa ada bantuan dari gereja? Nanti mereka malah mau buat kita murtad!” Asmad berpaling pada beberapa lelaki di belakangnya. “Benar begitu, Kawan-kawan?”
“Benar. Benar!” sahut mereka serempak. Ada suara yang ketinggalan: “Iyee benar dah tuuuh.”
“Kalian keterlaluan! Ngape tak berterus terang jak kalo tak mau menerima bantuan dari mereka?”
“O, jangan Acik Yasin. Kita butuh bantuan tetapi tak ada gambar salib dan nama gereja. Yaa kita buka saja,” kata Asmad tersenyum.
“Kita?” Aku mengerutkan dahi, menatap Asmad. “Jadi orang-orang tadi …”
“Aku yang suruh mereka bergerak. Acik Yasin mau apa?” Asmad berkacak pinggang. “Apa Acik Yasin mau bela mereka yang bisa memalingkan kita dari keyakinan sebagai muslim?”
“Hei, Asmad! Seseorang berpindah keyakinan memang bisa karena keinginan diri sendiri dan pengaruh orang lain,” kataku.
“Nah, tuh Acik Yasin tahu. Aku tak mau mereka memengaruhi kita untuk murtad,” tukas Asmad. Aku berujar cepat;
“Bisa pula orang pindah keyakinan karena tingkat keimanan yang lemah sehingga mudah terkena bujuk rayu orang lain. Perkuat jaklah akidah dan keimanan masing-masing,”
Asmad diam. Kuhela napas, membuka ponsel. Tertera angka nol lima titik tiga puluh Tujuh. Jelang magrib, awan kelabu. Tak ada semburat cahaya merah tembaga yang biasa kulihat di langit sebelah barat. Kutinggalkan Asmad dan orang-orang di belakangnya melangkah ke musala darurat, letaknya di sudut kiri dalam tenda posko. Aku malas beladen dengan mereka.
Usai magrib, jelang makan malam tenda posko dikunjungi Pak Kades bersama perangkat desa. Pak Kades lantas mengumpulkan kami para pengungsi duduk santai membentuk setengah lingkaran meski tak sempurna benar. Di belakang kami duduk perempuan dan anak-anak sedang sibuk dengan dunia sendiri. Semua kira-kira tiga puluhan orang.
“Besok bapak bupati, beberapa kepala dinas dan pejabat lain beserta uskup akan datang meninjau keadaan kita di sini,” kata Pak Kades tanpa pengeras suara. Di depannya telah tersaji secawan kopi hangat.
“Kenapa harus ada uskup, Pak Kades?” tanya Asmad ditimpali suara-suara lelaki lain:
“Yaa, tak penting benar tuh,”
“Huhh, ade-ade jak nak begadoh mau ajak orang murtad!”
“Bupati ya bupati jak. Bukan yang lain, apalagi uskup. Apa urusannya datang ke sini?”
“Semua tenang! Saya jelaskan,” lantang suara Pak Kades berkumis tebal. “Uskup datang bersama bupati untuk memastikan semua donasi dari umat benar-benar telah disalurkan untuk kita. Hampir sepekan kita di sini semua yang kita makan, fasilitas yang tersedia telah kita gunakan adalah donasi dari gereja keluarga Nazareth. Lapangan bola ini pun sebenarnya milik mereka, apalagi tenda-tenda yang tadi sore dirusak orang tak bertanggung jawab. Saya telah menerima laporan secara lengkap siapa pelaku dan dalangnya. Dari sini segera saya serahkan urusan ini ke pihak berwajib!” kata lelaki yang telah lima tahun memimpin kami terdengar jelas. Tegas! Orang-orang saling pandang. Kutatap Asmad. Wajahnya pucat. Aku maklum. Jadi panjang cerita tenda-tenda di lapangan bola yang dirusak sekelompok orang.
Pak Kades berhenti bicara. Tenda posko disinari neon dari genset tujuh ratus lima puluh watt seketika menjadi sunyi.
Kalimas, Desember 2022