26.3 C
Singkawang
More
    BerandaSastraIklan dari Surga Fridolin Ukur

    Iklan dari Surga Fridolin Ukur

    | Penulis: R. Masri Sareb Putra

    Tentang Fridolin Ukur, kardinal sastra Indonesia, Korrie Layun Rampan mencatat hal yang demikian ini: sastrawan etnik Dayak yang paling awal dikenal dalam sastra Indonesia (Sastrawan Dayak: Karya & Dunianya, 2019).

    Fridolin Ukur. Pendeta berpeci hitam ini lahir pada 5 April 1930 di Tamiang Layang, Kalimantan Tengah. Anak ketiga lima bersaudara dari pasangan Merry dan Christian Ukur ini menjadi pribadi yang cepat dewasa dan mandiri karena harus menjadi seorang abang bagi adik-adiknya.

    Masa kecil dan remaja Ukur dijalani sebagaimana anak-anak sebayanya, bekerja di ladang membantu orang tua. Di sela-sela melakukan pekerjaan di ladang, ia tetap membaca atau menulis. Namun, hal istimewa darinya sudah mulai tampak. Buku-buku koleksi ayahnya, mulai dari politik dan budaya Dayak waktu itu yang diterbitkan Pakat Dayak, hingga buku-buku karangan dan tentang Bung Karno, habis dilahapnya.

    Pada 1950, Ukur meninggalkan kampung halaman melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta (Hoogere Theologische School). Bersamaan dengan itu, ia seorang militer. Hal yang unik, ia mengenakan seragam tentara lengkap dengan atributnya ketika kuliah. Ukur benar-benar berhenti dan meninggalkan dunia militer pada Desember 1950.

    Paus Sastra Indonesia, H.B. Jassin memilih sejumlah karya Ukur untuk antologi Angkatan ’66 Prosa dan Puisi (1968). Kumpulan khotbahnya yang indah, seperti esai-esai sastra berjudul Iklan dari Surga (1980) yang diterbitkan oleh Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, sungguh memesona.

    Ia pernah menjadi pimpinan redaksi majalah Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), dan disitulah ia memuat sajak-sajaknya yang umumnya menggunakan nama samaran Eff Serau. Tahun 1952 ia mewakili Pemuda Kristen Indonesia dalam Konferensi Pemuda Kristen Sedunia di Travancore.

    Karya tulisnya di bidang keagamaan (Kristen) cukup banyak; di antara yang berhubungan dengan sastra adalah: Malam Sunyi (1961), Darah dan Peluh (1962), Belas Tercurah (1980), Wajah Cinta (2000, sebuah kumpulan sajak yang diterbitkan secara khusus untuk menyambut ulang tahunnya yang ke-70, 5 April 2000).

    Sejumlah sajaknya dipilih H.B. Jassin untuk antologi Angkatan ’66 Prosa dan Puisi (1968). Kumpulan khotbahnya yang indah, seperti esai-esai sastra berjudul Iklan dari Surga (1980) yang diterbitkan oleh Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, sungguh memesona.

    Sejumlah sajaknya dipilih Korrie Layun Rampan untuk antologi Kristen dalam Sastra Indonesia. Secara luas karya dan biografinya pernah dibicarakan Korrie Layun Rampan dalam Horison-Kakilangit No.12, Th. XXXIX, Desember 2005. Dalam antologi ini dimuat sajak-sajaknya: “Wajah Cinta”, “Malam pun Patah”, dan “Peristiwa Malam”.

    Buku ini berbeda dari lain yang pernah terbit. Sebuah biografi lengkap yang merekonstruksi bukan hanya sosok sang tokoh, melainkan juga realitas sosial maryarakat di zamannya. Utamanya hidup beragama, berbangsa, dan bernegara seperti tercermin dalam acara “Mimbar Protestan TVRI” yang diasuhnya. Khotbahnya bernas, filosofis, sekaligus puitis. Sekaligus, kiprahnya sebagai tokoh agama dan pandangan-pandangannya mengenai teologi dan hidup spiritual.

    Ukur pernah menggemparkan dunia antropologi budaya begitu terbit bukunya berjudul Tantang Djawab Suku Dayak (1971) terbitan BPK Gunung Mulia. Dayak silakan “ditantang”, dan etnis asli penghuni bumi Borneo ini siap menjawabnya. Dalam buku ini, Ukur menguraikan asal muasal etnis Dayak, penggolongan, dan persebarannya. Agaknya, ia mengembangkan lebih lanjut dari salah satu monograf kontrolur Hindia Belanda, Malincrodt.

    Ia juga dikenal sebagai sastrawan yang produktif bersyair. Pusi-puisi indahnya terkumpul dalam Malam Sunyi (1961) dan Wajah Cinta (2001). Kita nikmati sejumput puisi karya-ciptanya.

    Fridolin Ukur
    WAJAH CINTA

    Terlalu sederhana
    bila malam ini kita terpukau, pada
    kisah lembut syahdu mesra
    tentang dara melahirkan dalam keperawanan
    tentang bayi mungil dalam palungan

    terlalu dangkal
    bila perayaan ini membuat kita terpana
    dalam buai khusuk senandung damba
    tentang malaikat, domba dan gembala

    Akan kubantah
    khotbah-khotbah indah
    tentang surga
    yang hanya membuat terlena
    dalam pesona mimpi-mimpi hampa

    Akan kutantang
    cerita-cerita iman yang alpa
    pada kesetiakawanan sesama insan,
    tutur khidmat
    yang hanya bergema di ruang bicara
    larut dalam galau hipokrisi

    Karena dia
    yang malam ini datang menyapa
    melawat, berkunjung mencari kita
    memilih sudut yang pling sunyi
    ketika terdampar di tikungan malam
    menggelepar terkapar di kandang hewan

    sebagai bayi tunawisma
    dilahapnya dada sang bunda
    dihirupnya udara tengik
    berbau kotoran domba

    Dalam kesetiaan tulus
    ditanggalkannya kemuliaan kudus
    dimasukkannya dunia penuh bencana
    dipeluknya bumi pada dosa

    Begitu akrab dengan kemiskinan
    begitu dekat dengan kepapaan
    sekalipun ia kaya
    menjadi miskin karena kita
    agar kita menjadi kaya
    karena kemiskinannya

    Dalam dirinya
    Tergambar wajah cinta!

    Fridolin Ukur
    MALAM PUN PATAH

    Di atas tumpukan sampah
    kami bangun kemah-kemah
    dari sobekan plastik
    koran bekas dan karton tua

    di bawah jembatan
    kami membuka malam
    diterpa dingin, badai dan topan;

    atas tikar sobek butut
    kami tempuh hidup, larut
    dalam nestapa tak kunjung surut;

    Di rusuk kota paling pengap
    Di sana pun tiada tempat menginap,
    Di daerah kumuh yang paling gelap

    Keseharian kami yang sekarat
    Adalah lapar yang memagut-magut

    Konon,
    ketika Kau dalam kebebasan
    memilih nista yang paling papa
    ketika kau dalam kesetiaan
    memilih kandang tempat bertandang

    Malam pun patah
    Malam pun tak lagi buntu!

    Biar bulan tak secantik dulu
    ada bintang mengerdip ramah
    atas hidup yang sayu
    membentang dalam debu

    Ada ketulusan menyentuh hati
    putih lembut, menyanyang sekali
    jamahan persahabatan,
    membawa harapan
    akan kebajikan dan keadilan!

    Cipayung Jaya, Desember 1985

    Fridolin Ukur
    PERISTIWA MALAM
    (i)
    Betapa gandrungnya dunia ini
    merayakan kejantanan
    menyanjung kebetinaan
    inilah gambar wajah bumi!

    Sementara lagu dan bunyi
    berpekikan, ada raung insan lara
    dalam genangan darah bermuncratan
    menghantui mimpi mereka yang tak berdaya

    kecupan musim-musim indah
    tak lagi memberi makna:
    hangatnya musim kemarau
    sejuknya udara di musim hujan;

    semua itu hanya mengundang kecewa,
    derita pun berlanjut
    seperti tak pernah usai

    bumi kami bumi berbencana
    bermusimkan tangis tanpa tawa
    rusaknya keindahan
    dalam keterasingan yang tak kunjung beranjak
    inilah keluh sejagat tak pernah bertepi

    (ii)
    Begitu tua rindu menghangati dada Hawa
    sejak ia malu pada ketelanjangan yang begitu lembut;
    keluhnya yang lirih mengaliri nadi-nadi
    pengembaraan insan di bawah matahari:
    antara lara dan janji
    pada kepulihan semesta
    kebeningan jernih kudusnya cinta
    sudah lama mengabur, menciut dan susut
    terpojok ke ujung paling sudut
    begitu terlunta, dalam tualang semakin tua

    datanglah peristiwa malam ini
    membelah duni yang paling hitam;
    mimpi dan kenyataan yang saling
    cemburu
    cahaya dan kelam yang saling memburu
    berjumpa malam ini
    dalam pelukan perdamaian
    tak ada lagi rahasia membisu!

    (iii)
    Dalam peristiwa malam ini
    terjadi pembedahan jantung semesta:
    punah sudah pilu yang abu, lara yang membusuk

    Ada denyut baru: denyut cinta!
    Ada darah baru: darah keadilan!

    Horison, No. 12, Th. XXXIX, Desember 2005

    ***

    Bionarasi

    WhatsApp Image 2021 08 06 at 10.27.34

    R. Masri Sareb Putra, M.A., dilahirkan di Sanggau, Kalimantan Barat pada 23 Januari 1962. Penulis Senior. Direktur penerbit Lembaga Literasi Dayak (LLD). Pernah bekerja sebagai managing editor dan produksi PT Indeks, Kelompok Gramedia.

    Dikenal sebagai etnolog, akademisi, dan penulis yang menerbitkan 109 buku ber-ISBN dan mempublikasikan lebih 4.000 artikel dimuat media nasional dan internasional.

    Sejak April 2021, Masri mendarmabaktikan diri menjadi Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (PPM), Institut Teknologi Keling Kumang.

    Latest articles

    Explore more

    Arsip berita