26.2 C
Singkawang
More
    BerandaBudayaNek Tungko

    Nek Tungko

    | Penulis: Maria Fransiska

    Pada zaman baheula, nek Tungko hidup bersama cucunya yang bernama Auok. Mereka tinggal di  kampung Damai. Sebuah kampung yang tanahnya subur. Setiap tahun menghasilkan padi yang melimpah ruah. Penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Begitu juga dengan nek Tungko. Iaberladang dan mempunyai pekerjaan sampingan sebagai nek bohieng. Masyarakat di kampung Damai sangat menghormati nek Tungko. Karena tiap kali ditunjuk menjadi nek bohieng, orang yang sakit pasti sembuh. Ini berkat ketulusan hatinya. Ia tak seperti nek bohieng lain di kampungnya yang memasang tarif.

    “Nek Tungko, berapa pengkeras-nya? tanya Somi. Ingin memberikan pengkeras.Sebagai tanda ucapan terima kasih. Karena saat suaminya sakit, nek Tungko-lah yang menjadi nek bohieng-nya.

    “Ndak usah! Ini memang tugas saya sebagai nek bohieng. kata nek Tungko seraya melipat tangannya. “Saya membantu mengobati yang sakit. Jaga suamimu, Somi! Biarlah yang mengirim penyakit tu dikasi balasan oleh Penompo. Jangan lupa oles tumbukan ngolai (Zingiber montanum) ke tangan dan kakinya.”

    “Terima kasih! Semoga Penompo membalas semua kebaikan Nenek.” Somi mengusap air matanya.  Seakan-akan tak bisa berkata apa-apa.

    “Bagaimana suamimu? Hari ini dah mau makan kah dia? tanya nek Tungko.

    “Udah. Tadi pagi minta rebusan sayur peringgi.”

    Di malam harinya, kira-kira saat nek Tungko sudah tidur. Datanglah Somi ke rumah nek Tungko. Kebetulan, ia melihat Aouk masih duduk di teras rumah dan menyapa.

    Baca juga: Tungku

    “Auok, ini kasi nenek ya!” dengan suara kecil. Berbisik. Ia tak mau kehadirannya diketahui nek Tungko.

    “Apa ini? Banyak sekali.”

    “Ini ucapan terima kasihku untuk nenekmu. Kemarin nenek jadi nek bohieng waktu ngobat suami saya.” sambil menyodorkan goni berisi 4 gantang beras, garam, teh, gula, dan sebungkus pekasam babi hutan. “Hanya itulah yang dapat aku kasi ke nenek. Pandai-pandai kamu! Jangan sampai nenek tahu kalau saya yang kasi.”

    “Terima kasih, Bibi! Sebenarnya nenek tu ndak pernah mau terima apa pun terkait ritual bohieng. Nenek ikhlas membantu yang seharusnya dibantu.”

    “Saya merasa kasihan dengan nenek. Waktu ritual, dia harus ikut anak muda nari-nari. Tenaganya juga terkuras.”

    Di balik daun sabang yang rimbun, Entoli mendengar pembicaraan Aouk dan Somi. Ia seorang warga yang  tidak suka kepada keluarga nek Tungko. Merasa dendamnya kepada mendiang ayah Auok belum terbalaskan. Dulu Entoli ketahuan mencuri getah milik taipan di kampung Damai. Saat itu, ayah Aouk adalah kepala adat kampung Damai. Karena kesalahannya, ayah Aouk menjatuhinya 10 tael. Bagaimana pun caranya, Entoli harus melunasinya. Tak hanya itu, ia juga menerima sanksi sosial.  

    Setelah menentukan hari yang baik. Dan sudah menunggu beberapa hari tidak turun hujan. Nek Tungko dan cucunya akan membakar lahan. Sebulan lalu, mereka menyiapkannya untuk berladang. Mengetahui hal ini, Entoli sudah menyusun rencana untuk mencelakai nek Tungko. Kali ini sasarannya adalah Auok.

    “Aku harus membunuh Aouk. Karena bapaknya dulu udah bikin aku miskin karena bayar adat. Tanahku habis. Kebun karet melayang. Sawah pun tak ada. Istriku ngajak cerai. Nanti rasa kamu Aouk. Mati kamu dimakan api! Biar nenek kamu hidup sendiri.” gumam Entoli sambil membakar kayu api.

    Sebelum lahan itu dibakar, Auok membuat pembatas. Agar api tidak menjalar di lahan sebelah. Sambil menunggu Auok, nek Tungko memotong kayu. Ia ingat para-para di rumah mereka sudah surut kayunya bakarnya.

    Di balik semak-semak, Entoli mulai melancarkan aksinya. Ia membawa kayu leban (Vitex pinatta) yang masih ada bara apinya. Maka dilemparnya kayu itu. Seketika api menyala. Menjalar di padang yang kering. Angin berhembus kencang. Membuat api begitu cepat menyebar.

    Saat itu, ternyata Auok masih berada di tengah-tengah lahan.

    “Auok.. Aouok. Obu.. obu! ‘Lari.. lari..’ Api besar ngejar kamu! Cepat lari.” nek Tungko teriak. Tapi sia-sia. Karena luasnya lahan, suara nek Tungko nyaris tak sampai di telinga Aouk.

    Nek Tungko bingung. Dari mana api itu berasal. Padahal mereka belum menyalakan api. Api terus menyebar. Lahan tersebut pun sudah setengah dilalap si jago merah. Nek Tungko hanya bisa berserah. Tak lupa ia kepada Penompo.

    O Abai Penompo! Tileik ha ucok okou houk kobis ni opi mpadai. ‘O Tuhan, lihatlah cucuku hampir mati kena makan api’. nek Tungko berdoa. Meminta pertolongan. Barangkali ada sebuah keajaiban.

    Kemudian, ia berteriak sekencang-kencangnya. Pun tidak ada yang mendengar. Tiba-tiba ia seperti dituntun. Berlari. Berusaha momping (menimba air) di payak. Meskipun menurutnya mustahil harus menyiram lahan seluas itu. Tetapi nek Tungko tidak menyerah. Saat kali kesepuluh kembali dari payak, ia mendengar suara. Suara yang sudah lama tidak pernah didengarnya lagi.

    Tiba-tiba bouh (burung elang) raksasa datang. Mengepakkan sayapnya dengan gagah di langit ladang itu. Dengan kekuatannya, bouh berhasil menyelamatkan Aouk dari kobaran api. Tak hanya Auok, nek Tungko juga dibawa terbang oleh bouh. Melanglang buana. Dan tak pernah kembali ke kampung Damai. Entoli pun tak akan pernah bisa mencelakai mereka.       

    Narasumber: Antonius Pendi (53)

    ***

    Bionarasi

    Maria Fransisca 1

    Maria Fransiska dilahirkan di Sanggau, Kalimantan Barat pada 21 Desember 1995. Copyeditor di Lembaga Literasi Dayak (LLD). Pernah bekerja di Andi Publisher (CV. Andi Offset Yogyakarta) editor e-Book. Beberapa kali ikut dalam penulisan antologi cerpen, salah satunya Antologi Cerpen “Ganar” (2021).

    Latest articles

    Explore more

    Arsip berita

    2 KOMENTAR