Jakarta, detikborneo.com – Desa terkadang dikenal dengan kemiskinan. Pemerataan pembangunan tidak banyak menyentuh desa. Maka sejak diundang-undangkan pada tahun 2014 dan dieksekusi tahun 2015 maka desa menjadi perhatian pemerintah. Tujuannya mengentaskan kemiskinan desa. Termasuk mengatasi arus urbanisasi.
Betapa hebatnya pemerintah. Sepuluh tahun sudah program itu dilaksanakan. Pemerintah pusat tetap konsisten memberikan kepada setiap desa. Bayangkan untuk tahun ini ada 75.000 desa yang disasar. Dan menghabiskan anggaran 71 triliun rupiah. Satu desa satu miliar lebih.
Pertanyaannya sampai kapan dana desa diberikan oleh pemerintah pusat? Apakah sungguh-sungguh berdampak bagi masyarkat pedesaan? Sudah terangkat kah pendapatan desa? Adakah program yang benar-benar melibatkan masyarakat desa? Terjadi tranparansi dalam pengelolaannya? Sesuatu yang baik yang diberikan pemerintah pusat belum tentu berdampak baik bagi masyarakat jika tidak ada pengawasan.
BACA JUGA : Dua Desa di Bengkayang Diduga Selewengkan Dana Desa, Kejari Lakukan Penyidikan
Masih ada kepala desa dan perangkat desa yang bermain-main dengan dana desa. Ada yang sudah dibawa kepengadilan. Ada yang masih berkeliaran. Untuk itu masyarakat pun tidak boleh berdiam diri. Datanglah ke kantor desa. Untuk mengetahui kemana saja arah alokasi dana desa itu diarahkan. Kementerian desa pun tidak hanya sekedar menerima laporan. KPK diharapkan turun kelapangan sesuai atau tidak kuitansi dengan foto yang ada. Jika Indonesia mau maju semua lapisan masyarakat harus bekerja dengan jujur dan penuh kesungguhan.
Dulu tidak ada dana desa kini ada. Bahkan sudah masuk tahun yang kesepuluh. Dampak dari dana desa hingga menyasar calon kepala desa. Mereka yang mau menjadi kepala desa pun bukan sedikit. Apapun dikorbankan. Kemampuan mengentaskan desa untuk kemiskinan itu urusan lain yang penting terpilih jadi kepala desa.
Melihat kepada konsistensinya pemerintah pusat mengelontorkan dana desa dari APBN. Jangan sampai dana desa jadi bajakan. Salah sasaran. Jadi alat politik lima tahunan. Lebih lagi tidak mampu menambah penghasilan penduduk desa. (Paran Sakiu)